Cerita Sore di Watu Lumbung
view dari Watu Lumbung |
Dua minggu lebih sempat merasa tak berdaya karena sakit, akhirnya sedikit demi sedikit saya kembali pulih. Ya biarpun masih kambuhan, setidaknya saya sudah tak didera rasa pusing yang berkepanjangan.
Tepatnya 2 hari lalu, di tengah rasa bosan yang mendera karena kebanyakan glundang-glundung di kasur, saya secara tetiba terpikirkan untuk datang ke kawasan Sendang Pinilih.
Ibu berwajah masam saat mendengar saya pamitan “kumat neh, karepmu!” ujarnya. Saya cuman njegeges dan nekat memacu motor ke sana. Yeah, beberapa hal mengganggu pikiran saya kemarin, ditambah keharusan banyak-banyak bed rest rasanya justru membuat saya makin ingin kabur.
“Ini nggak ada jasa anter ke atas Mbak? Saya kok pengen ke Bukit Joglo. Tapi mau naik sendiri nggak berani. Tanjakannya ngeri e” tanya saya pada Mbak-mbak penjaga tiket.
“Wah, udah sore Mbak. Kalau agak siangan tadi, saya mau nganterin ,” sahut Mas-mas di sampingnya.
Saya mengintip jam HP. Benar juga sudah setengah 5 an. Sampai di Bukit Joglo tentunya sudah terlalu sore, dan bisa dipastikan balik bakalan Magrib.
“Minggu aja Mbak, saya anterin,” tawar Mas-mas tersebut. Saya menggeleng. Saya suntuknya hari itu, nunggu Minggu ya percuma lah.
“Kalau yang tempat wisata baru itu dimana, Mas?” saya mencoba mencari alternatif.
“Ohh, itu Watu Lumbung. Perempatan depan belok kiri lurus aja terus. Nanti untuk sampai ke Watu Lumbung, Mbak harus naik jalan kaki,” terangnya. Saya manggut-manggut. Meskipun sebenarnya saya sedikit khawatir naik ke Watu Lumbung bakal membuat tenaga terkuras. Mengingat, itu sesuatu yang sangat tidak disarankan untuk kondisi saya saat ini.
“Mau kesana Mbak? Sendiri aja?”
“Iya. Yang penting aman kan Mas? Tempatnya tinggi nggak?”
“Aman, Mbak. Nanjaknya Cuma pas jalan kaki aja ke sana,” giliran si Mbak-mbak menyahut.
Mendengar penjelasan ini, saya makin mantap untuk lanjut jalan. Usai berpamitan, sesuai arahan mereka saya berbelok di perempatan.
Jalur menuju Watu Lumbung merupakan jalur cor blok. Saya kira, motor saya bakal melaju cukup jauh. Ternyata, hanya sekiar 5 menit saya sudah sampai di penghujung jalan yang merupakan rumah warga.
Rumah-rumah di Sendang Pinilih buat saya cukup unik. Saya menyebut perkampungan di sini perkampungan di atas awan. Pasalnya, jalur ke kawasan ini tanjakannya lumayan. Saat pagi hari datang kemari, Desa Sendang Pinilih diselimuti kabut, membawa imaji saya bahwa tempat ini seperti sebuah negri dongeng, negri di atas awan.
Seorang perempuan muda muncul melihat kehadiran saya di depan rumahnya.
“Watu Lumbung itu di atas sana Dik?” saya memarkir motor lantas bertanya pada si gadis yang sayangnya saya lupa namanya.
“Iya Mbak. Mau saya anter?” tanyanya.
"Mau banget," sontak saya tak menolak. Bagaimanapun jalan di tempat yang belum pernah didatangi lebih terasa aman kalau ada yang menemani.
“Sendirian aja Mbak?” tiba-tiba suara laki-laki terdengar dari belakang saya.
“Iya,” jawab saya lantas memutar tubuh ke belakang. Namun saya kaget. Tak ada manusia satupun di sana.
Saya bengong, dan hati mak tratap rasanya. Pandangan di belakang hanya pepohonan yang tampak lebat, dengan suasana cukup gelap saking rimbunnya, ditambah hari memang sudah sore.
Mungkin, sekitar 10 detikan saya terpaku.
“Mbak,” suara itu terdengar lagi. Tapi tetap tak terlihat manusia.
“Mbakk…”
Jantung saya mendadak memburu. Sore-sore menjelang magrib, datang ke tempat yang masih agak rungkut dibanding spot-spot lain di kawasan Sendang Pinilih, tetiba menjadi sesuatu yang saya sesali saat itu. Bayangan saya sudah yang nggak-nggak. Bahkan sempat terlintas, jangan-jangan perempuan muda tadi bukan manusia. Tiba-tiba saya merasa khawatir, menengok lagi ke arah semula.
“Mbakkk…”Suara itu memanggil lagi. Kali ini saya mendongak pelan-pelan ke atas pohon yang tepat ada di hadapan saya.
“Baaaa,” ujar seseorang di atas sana.
Reflek saya teriak dan tubuh berjengat ke belakang.
Wohladala, jebulannya di atas pohon yang entah apa namanya, ada bapak-bapak berkaos parpol sedang metangkring. Entah sedang apa.
“Kaget Mbak?” tanyanya tanpa rasa berdosa dan hanya tersenyum lebar
Meski gemes, saya ngekek. Dalam hati membatin, ahhh Alhamdulillah suoro uwong tenan tibake.
“Kalau mau naik ke atas jaraknya 5 km Mbak,” ujar si bapak.
Perkataan si Bapak tentu membuat saya awang-awangen seketika. Pengalaman saya bertanya ke penduduk setempat, kalau penduduk bilang 2 km itu berarti bisa sampe 8 km an. Hla ini dia bilang 5 km, bisa-bisa saya harus nanjak sejauh 10 km.
“Ayo Mbak,” si perempuan muda tadi, menyadarkan saya untuk segera menentukan sikap.
Ia mengambil sandalnya lantas mendahului saya jalan di depan tanpa memberikan penjelasan apakah yang dikatakan si bapak tadi benar atau tidak.
Ragu saya mendadak teralihkan dengan semangat si gadis muda menemani saya.
Wes ditawani meh dikancani, mosok yo rasido Da? Batin saya dalam hati.
Saya menelan ludah sembari berdoa dalam hati, “duhh, mugo-mugo ra kumat. Mugo-mugo gur cedak,”
Saya bergegas menyusul si gadis yang mendahului saya melewati jalan semen setapak yang menanjak. Di sela-sela perjalanan saya mencoba menanyai perempuan muda itu untuk sekedar mencairkan suasana.
Saya kira, perjalanan bakalan sepanjang 5 km seperti yang dikatakan si bapak. Hla ternyata, mak jegagik, hanya berkisar 5 menit tak sampai, saya sudah tiba di tempat yang disebut Watu Lumbung.
Hemm, bapaknya, 2 kali sukses bikin saya deg-degan.
Sampai di atas, Watu Lumbung tampak belum selesai digarap. Menurut penuturan si gadis muda tempat ini direncanakan sebagai tempat landas ganthole seperti halnya Bukit Joglo. Beberapa waktu sebelumnya juga sudah ada beberapa atlit paralayang yang menjajal landasan Watu Lumbung.
Jika dibandingkan Watu Cenik, Soko Gunung maupun Bukit Joglo, menurut saya pemandangan Watu Lumbung masih kalah dari ketiga pendahulunya. Pasalnya pemandangan tidak selapang ketiga tempat tersebut. Namun kelebihan tempat ini adalah sudut pandang di tempat ini lansung pas ke Karamba, jadi karamba jadi lebih terlihat jelas. Pun bagi para atlit paralayang pemula, ketinggian yang lebih pendek tentunya cocok untuk berlatih
Hanya sebentar saya di Watu Lumbung. Lantaran mengejar waktu biar tidak kemalaman untuk lanjut ke Watu Cenik.
Saat kembali turun, si Bapak masih saja metangkring di atas pohon.
“Gimana Mbak, jauh?” tanyanya sambil ngekek.
“Nggak pak, deket itu. Haha,” ujar saya ikut tertawa. Si Bapak pun ngekek lagi. Entah ia memang salah memperkirakan jarak, atau pada dasarnya ia sedang bercanda, pokoknya saya ngekek saja. Buat saya, itu sebuah sambutan keramahannya sebagai warga. Pun, si perempuan muda, ia menunjukkan keramahannya sebagai warga setempat. Dengan baiknya ia bersedia menemani saya naik turun. Meski tak terlalu jauh, ya teteplah jalan nanjak itu bikin lelah, dan menemukan orang yang mau menemani nanjak seperti itu sesuatu yang berkesan buat saya.
Yeaahh sore kemarin, datang ke Sendang Pinilih sepertinya memang sesuatu yang tepat.
Ahh ya, cerita masih berlanjut sebetulnya di Watu Cenik. Pankapan saja lah saya lanjut lagi. Sudah 900 an kata. Saya rasa cukup tulisan ini jadi isian blog setelah sekian lama saya nggak nulis di sini.
0 comments
Semoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)