Pasar Dhoplang Wonogiri, Uniknya Pasar 'Boso Jawi' Yang No Plastic
Belakangan saya dibuat penasaran dengan berita bahwa Wonogiri memiliki Pasar Dhoplang, sebuah Pasar yang belakangan hits lantaran di sana tidak diperkenankan menggunakan plastik ketika berbelanja.
Pasar Doplang merupakan pasar yang ada murni atas inisiatif warga.
Ramenya Pasar Dhoplang |
Berangkat dari Wonogiri Kota sekitar pukul 6.00, kami baru tiba di Pasar Dhoplang sekitar satu jam kemudian. Pasar Doplang sudah penuh dengan manusia yang kebanyakan anak muda, serta rombongan keluarga. Deretan mobil terparkir di sepanjang jalan dekat Pasar membentuk ular-ularan panjang.
“Iki kok do nggawani berkat? (Ini kok pada bawa berkat)?” tanya pakde sembari memperhatikan lalu-lalang pengunjung yang berjalan ke luar dari area pasar.
Ketika itu, saya dan Nana sedikit mengabaikan pertanyaan Pakde. Karna kami sendiri tidak begitu paham kenapanya. Kami terus saja berjalan masuk, mengalir bersama arus manusia yang datang bersamaan dengan kehadiran kami.
Tiba di pintu masuk, kami selanjutnya memasuki area antrian penukaran uang. Yap, salah satu keunikan Pasar Dhoplang adalah di sana kita bertransaksi menggunakan koin bambu yang sebelumnya telah ditukar menggunakan uang asli.
Usai mendapat koin, kami lantas diarahkan masuk area pasar oleh petugas yang menggunakan baju lurik khas Jawa. Keunikan lain dari Pasar Dhoplang selain “No plastic”, dan transaksi yang dijalankan menggunakan koin, Pasar Dhoplang berusaha mengangkat budaya Jawa di sini.
Setiap petugas, maupun pedagang dianjurkan menggunakan baju Jawa seperti lurik, batik, maupun kebaya. Pun dengan bahasa yang digunakan, sebisa mungkin dianjurkan untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Tulisan-tulisan yang ada di Pasar Doplang pun banyak menggunakan bahasa Jawa beberapa juga disertai aksara Jawa.
Setiap petugas, maupun pedagang dianjurkan menggunakan baju Jawa seperti lurik, batik, maupun kebaya. Pun dengan bahasa yang digunakan, sebisa mungkin dianjurkan untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Tulisan-tulisan yang ada di Pasar Doplang pun banyak menggunakan bahasa Jawa beberapa juga disertai aksara Jawa.
Murah Dan Nikmatnya Merasai Kuliner Khas Wonogiri
“Buk, wonten besengek? (Buk ada besengek?)” tanya saya sumringah, membaca daftar menu dari kardus yang terpampang di depan lapak seorang penjual.
Besengek merupakan makanan tradisional khas Wonogiri, yang namanya baru saya dengar ketika saya mengunjungi Kampung Wayang Kepuhsari dulu. Saya girang, karena bisa dibilang ini makanan langka. Saya tidak pernah menemuinya di Wonogiri kota. Bahkan dulu saya disarankan untuk datang setiap hari pasaran Pasar Manyaran jika memang ingin mencoba mencicip makanan ini.
Tapi di Pasar Dhoplang, akhirnya saya menemukan besengek.
“Tigang ewu angsal to Buk? (tiga ribu boleh kan Bu?”
“Angsal, Mbak, angsal, (boleh mbak boleh)” si Ibu dengan semangat menjumput daun jati lantas mewadahi besengek dalam porsi yang menurut saya cukup banyak untuk harga Rp. 3.000. Kenyatannya, ragam kuliner tradisional di Pasar Dhoplang seluruhnya memang murah meriah Alhamdulillah.
Penampakan besengek Ini porsi pas udah dikurangi |
Saya, Nana, dan Pakde sampai nyaris kalap menjajali beragam menu makanan tradisional yang ada di sana. Dimana lagi coba, kami bisa makan makanan ‘lawas’ yang pilihannya beragam selain di sini? Selain besengek, tiwul, gronthol, puthu mayang, pecel gendar, cabuk, sego bancakan, wedang uwuh, jamu jawa dan buanyak lagi pilihan kuliner yang lain di sediakan di Pasar Dhoplang.
Puthu mayang |
Apem ndeso |
Ini sepertinya satu-satunya makanan modern |
Wedang Uwuh |
Syahdunya lagi, guna menikmati ragam sajian kuliner, kita disediakan tikar-tikar yang digelar di bawah naungan pohon jati yang menjadi lokasi berdirinya Pasar Dhoplang. Pasar Doplang berlokasi di daerah Slogoimo. Slogoimo sendiri terkenal dengan banyaknya pohon jati di sana. Bahkan di Slogohimo terdapat salah satu hutan yang terkenal dengan habitat pohon jatinya yakni Hutan Donoloyo.
Tenang saja, untuk duduk di atas tikar kita tidak perlu membayar sewa layaknya berada di pinggiran pantai. Di sini kita bisa duduk di atas tikar bersama-sama dengan pengunjung lain. Jadi bisa sambil cerita-cerita dengan orang-orang baru. Pokoknya ini tempat membawa kita pada suasana pedesaan yang guyub.
Suasana yang syahdu juga bakalan pas untuk berfoto-foto dengan mengedepankan suasana tradisional yang ada sebagai latar.
Suasana yang syahdu juga bakalan pas untuk berfoto-foto dengan mengedepankan suasana tradisional yang ada sebagai latar.
Awal Terbentuknya Pasar Dhoplang
Kalau kamu nggak bisa baca tulisan ini berarti mungkin kamu buta warna |
Menurut penuturan Ibu Lilis Endang selaku inisiator Pasar Dhoplang, pasar ini awalnya tercetus ketika sedang ada kegiatan dasa wisma. Dimaksudkan Pasar Dhoplang ada supaya para anggota dasa wisma memiliki kegiatan.
Awalnya hanya 11 pedagang, namun kemudian seiring meningkatnya animo masyarakat untuk berkunjung, para pedagang yang mayoritasnya merupakan warga dusun Kembar, Slogohimo, ikut bertambah, pun lokasi Pasar Doplang yang semula di depan halaman rumah kemudian dipindah ke area sekarang yang lebih luas.
Berdiri 11 September 2018, Pasar Dhoplang rutin hadir setiap hari Minggu mulai pukul 06.00-09.00. Selain menikmati ragam kuliner yang ada, kita bisa menikmati pula suguhan tarian-tarian tradisonal ataupun langgam-langgam gending yang dihadirkan.
Bagaimana Menuju Pasar Dhoplang?
Untuk menuju ke Pasar Dhoplang ikuti saja jalur utama Wonogiri-Slogohimo. Nantinya, sebelum pasar Slogohimo kanan jalan ada jalan masuk. Nah, ikuti jalan masuk itu terus. Nanti sekitar mungkin 10 menit kita akan sampai di lokasi Pasar Doplang.
Tips kalau datang kemari, jangan lupa beli tas bukan plastik khas Pasar Dhoplang seharga Rp. 5.000 biar kalau pulang dan bawa oleh-oleh banyak tak berasa seperti sedang nenteng berkat layaknya orang habis dateng ke hajatan.
Kami awalnya tak berniat membeli apapun untuk di bawa pulang. Tapi kami kemarin terlalu kalap mencoba kuliner yang bermacam-macam. Akibatnya, beberapa justru utuh tak termakan.
Sayang kalau ditinggal begitu saja, akhirnya kami menenteng makanan-makanan yang dibungkus daun jati tersebut dengan tangan.
Sayang kalau ditinggal begitu saja, akhirnya kami menenteng makanan-makanan yang dibungkus daun jati tersebut dengan tangan.
Pertanyaan awal Pakde terjawab sudah. Kami pulang bagaikan orang dari acara kondangan. Bawa berkat bungkus daun jati. Hahaha.
Nah, berkunjung ke Wonogiri mau ke mana? Atau mungkin bingung mau dateng kemana kalau pengen mencari kuliner Wonogiri yang khas? mungkin Pasar Dhoplang bisa jadi pilihan.
Pasar Dhoplang
Kembar, Pandan, Slogohimo, Wonogiri
Jawa Tengah
6 comments
wah bagus ya.. memanfaatkan daun jati yang banyak di tumbuh di wonogiri..
ReplyDeleteak tergoda liat foto sate ususnya
Bungkus godong jati mengingatkanku biyen tau entuk berkat 🤣🤣
ReplyDeletetulisan yang keren kak, btw udah lama gak ke sana nih, terakhir kali waktu aku masih kecil banget,,,
ReplyDeleteketoke kok nyenengke banget ya ning kene da
ReplyDeletewahhh, pengen dolan kesana nih... makasih atas informasinya min
ReplyDeleteKapan nih bakalan ada pasar macam ini di Bandung? *berharap banyak*
ReplyDeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)