Masa Lalu Waduk Gajah Mungkur Yang Datang Kembali
Pikiran saya mengudara, ketika mengajak Nana mendatangi area perkuburan di Wuryantoro yang biasanya tergenang air waduk Gajah Mungkur. Mengudara, dengan segudang imaji, membayangkan perasaan orang-orang jaman dulu. Mereka yang berbondong-bondong meninggalkan kampung halaman untuk melakukan transmigrasi ke sebuah tempat baru nun jauh di seberang pulau. Meninggalkan semua kenangan kampung halaman yang tak bisa lagi dikunjungi lantaran semuanya ditenggelamkan.
“Assalamualaika Ya Ahli Kubur,” pelan-pelan saya dan Nana mencoba memberanikan diri berjalan di pinggiran area perkuburan. Mengamati jajaran pusara yang bentuknya rata-rata tak lagi utuh. Berwarna abu, nampak lapuk, memperlihatkan bagaimana air berhasil menggerogoti warna dan kekokohannya.
“Ini berarti keluarganya kalau mau ziarah, harus nunggu surut dulu kali ya, Na?”
“Opo yo gek enek? Keluargane udah pada jauh. Pada transmigrasi,” komentarnya.
“Yeah mungkin.”
Waduk Gajah Mungkur yang merupakan salah satu waduk terbesar di Indonesia, sedang surut di kedatangan kami di musim kemarau beberapa bulan lalu. Ia menampakkan sedikit muka masa lalunya. Di beberapa tempat termasuk di dekat Pasar Wuryantoro kemarin, sisa-sisa bangunan masa lampau yang biasanya tertutup air kembali terlihat. Seolah, ia datang lagi untuk menolak dilupakan sejarahnya oleh generasi kekinian semacam saya ini.
“Ini tahun kematiannya 1979. Padahal itu pas masa-masa pembangunan waduk. Berarti pas baru dikuburkan, selang beberapa waktu, makamnya ditenggelamkan,” saya mencoba menebak-nebak.
Kami mengamati sebuah pusara yang sudah terguling dengan angka 1979. Padahal kalau dari beberapa literatur, pembangunan waduk Gajah Mungkur dilakukan bertahap kisaran tahun 1976-1981.
Sempat terlintas di benak saya rasa kasihan. Ahh, tapi bukankah manusia mati terputus urusannya dengan dunia kecuali tiga perkara? Jadi ya sepertinya di tenggelamkan pun mereka sudah tidak bisa merasakan apa-apa.
Lepas dari makam, kami berjalan mengarah ke area persawahan. Di sana, kami bertemu seorang bapak-bapak yang ikut menanam padi. Di depan kami tanaman padi menghampar dengan suburnya biarpun saat itu sedang musim kemarau.
“Kalau sedang surut begini, ditanemin sama warga sekitar, Mbak,” ceritanya.
“Nggak takut kalau tiba-tiba hujan deras terus air naik pak?”
“Ya itu, resiko, Mbak. Pernah dulu begitu. Tapi ya tetep nanam lagi kalau sedang surut.”
“Hla mbaginya lahan gimana Pak?” saya penasaran.
“Hla mbaginya lahan gimana Pak?” saya penasaran.
“Ya yang bisanya di situ ya di situ. Udah biasa dari dulu, Mbak,”ujarnya. Saya hanya mengangguk-angguk lantas memilih berjalan kembali, membelah jalan kecil diantara persawahan menerobos juntaian daun-daun padi yang tak sedikit pun terlihat kusut. Hijau segar tanpa ‘kekrep’, menunjukkan betapa baiknya kondisi tanah di sana.
“Yo.. yo... yo...” sesekali, persawahan yang sepi tiba-tiba diramaikan dengan suara Ibu-ibu yang dengan cerewetnya mengusir burung-burung sawah. Kebisingan yang hanya sesekali itu, diikuti suara berisik dari kaleng-kaleng yang diikat di sekeliling sawah, serta tarian-tarian luwes orang-orangan sawah.
Kami belum sampai di ujung persawahan. Tapi lantaran tujuan kami selanjutnya adalah mencari puing-puing perkampungan, kami memutar arah kembali. Melewati lagi makam dan berjalan ke sisi dekat Pasar Hewan Wuryantoro.
“Ini pondasinya ya? Ini sumur?” tebak kami ketika kami menemui puing-puing pondasi yang sama halnya dengan pusara-pusara sebelumnya: sudah terlihat lapuk, beserta beberapa sumur yang saat kami longok masih berisi air dan di dalamnya terlihat beberapa ranting jatuh tersangkut.
“Itu dulu kampung Mbak. Saya dulu juga di situ,” Berjalan kembali ke arah Pasar Hewan, kami bertemu seorang Ibu-ibu sedang mengemong tiga orang cucunya.
“Nggak ikut transmigrasi bu?”
“Mboten Mbak, kebetulan masih ada tanah di atas sini. La di situ rumah saya sekarang,” tunjuknya ke deretan rumah-rumah tak jauh dari lokasi kami berdiri.
“Dulu wakttu pembuatan waduk, sedikit-sedikit mindahin barangnya. Ehh, hla kok tiba-tiba pas malem-malem itu air udah naik. Langsung diangkut cepet-cepet. Untung tinggal beberapa,” ceritanya lagi.
“Dulu banyak tetangga-tetangga yang ikut transmigrasi ke Sumatra. Tapi dulu saya sama keluarga ya tetep milih di sini. Dulu itu Jembatan ke Praci,” tunjuknya pada jembatan yang sampai hari ini masih digunakan warga sekitar namun hanya ketika air waduk surut.
“Di sana juga ada bekas-bekas kuburan juga. Di daerah Desa Pondok dulu namanya,” terangnya sambil menunjuk tempat jauh di depan jembatan sana.
“Kalau pas musim hujan itu, air bisa sampai ke sini ini mbak,” tunjuknya pada bawah jembatan dekat kami berdiri. Saya hanya geleng-geleng kepala. Mengagumi betapa besarnya kemampuan Waduk menampung air, pasalnya zona daratan yang sedang surut kemarin itu sangat luas dan jauh dari jembatan dimana kami berpijak. Berarti ketika musim penghujan air yang tertampung tentunya sangat banyak.
Yeahh, namanya juga waduk yang mengakibatkan terjadinya transmigrasi Bedhol desa dengan mengakibatkan 12 ribu KK dengan sekitar 60.000 jiwa terdampak, Da!
Kalau sudah begini, saya jadi teringat obrolan saya dengan pakde tentang proses pembangunan Waduk Gajah Mungkur sekian tahun yang lalu. Ya sudahlah, saya lanjutkan lagi saja catatan ini kapan-kapan. Semoga ada waktu dan mood untuk menuliskan seputar Waduk gajah Mungur lagi.
Nah buat kamu yang ingin menengok Waduk Gajah Mungkur dari sisi yang berbeda, sesekali ketika musim kemarau cobalah kemari. Petunjuk jalannya, ikuti jalan ke arah Wuryantoro. Nanti sampai di BRI Wuryantoro belokkan kendaraan ke kiri lantas berjalanlah melewati waduk yang yang mengering untuk melihat lagi puing-puing kenangan Waduk Gajah Mungkur.
10 comments
Terima kasih informasinya, sangat membantu :)
ReplyDeleteWah bersejarah banget ya tempatnya
ReplyDeleteThanks your for sharing
ReplyDeleteWah bagus banget ya tempatnya
ReplyDeleteSaya jadi pingin ke sana nih hehe
ReplyDeleteAku spechless waktu du Watu Cenik kae, ternyata ya waduk Gajahmungkur seluas itu. Ga nyangka aja, padahal itu buatan tangan manusia.
ReplyDeleteSayangnya waktu itu tidak sempat mengitari Waduk Gajah Mungkur. Jadi sekitar penghujung kemarau lalu, kami ke Wonogiri cuma mau beli mi ayam terus pulang lagi. Nah pulangnya lewat Waduk Gajah Mungkur naik ke Pracimantoro terus Gunkid, Jogja.
ReplyDeleteHampir sama kaya Waduk Sermo (Kulon Progo) yang pernah aku tulis pas kemarau. Makam-makam menampakkan dirinya :( sedihhh lihat nisan-nisannya terbengkalai tanpa peziarah keluarga. Eh tapi pas dialiri air apa ya dialiri begitu saja atau dipindahin dulu ya jenazahnya itu? :((
Saya baru tahu kalau masih ada jejak pekuburan di kawasan waduk :O
ReplyDeleteSaya baru tahu kalau ada kek gitu ...
ReplyDeletetempat yang cukup bersejarah ya bund :)
ReplyDeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)