Hanya Sebuah Pemikiran Usai Pulang Dari Lombok
“Barangkali di sana ada jawabnya,
mengapa di dusunku terjadi gempa?
Mungkin Tuhan mulai enggan
melihat tingkah anak muda
yang selalu salah dan bangga,
kepada dosa-dosa...”
Sebuah video hasil rekaman salah satu anggota tim kami yang menshoot salah seorang ibu-ibu korban gempa Lombok yang bernyanyi menggubah lirik lagu Bang Ebbiet di dalam tenda entah kenapa mengaduk perasaan saya. Trenyuh. Wajah yang polos, pasrah, sekaligus prihatin terpancar di wajahnya.
Sebuah pertanyaan mengapa, wajar tentunya ditanyakan olehnya. Wajar pula tentunya ketika kemudian saya atau anda ikut bertanya-tanya mengapa gempa terjadi? Mengapa bencana terjadi di tanah air?
Mengapa Lombok digoyang berkali-kali, mengapa kemudian titik-titik gempa itu seperti berputar. Berkeliling, melompat-lompat. Mengapa sesar-sesar itu aktif? Mengapa giliran Palu dan Donggala mengalami gempa bahkan sekaligus tsunami? Dan mengapa-mengapa yang lain.
Mengapa, sebuah bukti bahwasanya manusia dikaruniai akal untuk berpikir.
Wajar menurut saya, jika kemudian kita mendengar ragam pemikiran orang mengenai mengapa bencana terjadi di negri kita. Tiap orang, dibesarkan dan mengalami hidup yang berbeda-beda. Apa yang mereka yakini pun tak semua sama.
Miris ketika membaca thread twitter kala gempa Lombok melanda. Ketika itu banyak netizen yang menganggap bencana gempa Lombok adalah azab Tuhan, dan sebuah peringatan yang diberikan olehNya.
Lantas buanyak pula orang-orang yang tak sepakat dengan itu, menyebut mereka tak paham geografi lah, tidak paham penjelasan bmkg lah, kolot lah, dan segudang pandangan yang intinya menganggap mereka orang-orang primitif dan bodoh. Sempat saya membaca pertanyaan netizen yang sedang menyinyiri netizen lain yang intinya begini “mengapa jika itu azab dan peringatan untuk seluruh negri, gempa hanya terjadi di Lombok?”
Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Palu dan Donggala lumpuh oleh gempa dan tsunami. Pun, sesar-sesar bergerak di sana-sini. Seperti berkeliling di Indonesia. Hemmm,, Buat saya, yang penting jangan sembarangan saja lah membuat pertanyaan berbau meremehkan kuasa Tuhan.
Lumpuhnya Palu dan Donggala, kembali, netizen ramai berdebat. Ragam argumen pun bermunculan.
Jika kemudian ada pendapat yang menyebut itu azab untuk Palu, saya kurang sepakat. Palu katanya begini lah, begini lah. Saya tidak pernah ke Palu, saya rasanya tidak layak untuk mencap mereka seperti itu. Seperti halnya ketika gempa Lombok banyak yang bilang orang Lombok begini, begini, namun ketika saya di Jeringo, subhanallah, mereka orang-orang yang baik. Teramat baik.
Namun tidak percaya bukan berarti saya meremehkan tentang azab. Aku ki sopo wani nyepelekke?
Tapi ahh, apakah azab jadi turun nilainya di mata orang-orang semenjak stasiun tivi indo**** kerap membuatnya berkesan lebay? Hingga kemudian banyak yang menganggap azab hanya lelucon?
Atau azab menjadi semakin berkesan tak bernilai lantaran pencampur adukan dengan urusan politik?
Yeahh, saya pun paling sebal dengan buzer-buzer politik yang berlarian di tengah thread tentang bencana. Saya sebal dengan mereka semua yang mempolitisasi bencana.
Huhhh…
.
.
Tapi, mbok ya o, mari jangan memandang remeh azab, apalagi bagi muslim yangmana dalam Al Quran dijelaskan perkara azab dan peringatan Tuhan itu benar adanya. Seperti halnya kita diajarkan untuk menghargai ketika misalnya kita berkunjung ke sebuah tempat, lantas ada bagian tempat yang dikeramatkan, dilarang dikunjungi untuk perempuan yang sedang haid misalnya. Ya sudah, walaupun kita tak percaya, yo ojo nekat! Ojo terus nyinyir sak enggon-enggon! Bilang nggak mutu, atau berkoar hari gini, masih percaya setan?
Ayolahhh…..
Mikir aja positif, mungkin maksudnya, jaga-jaga biar tempat itu tidak kotor kalau kebetulan ada perempuan haid yang kemudian tidak sengaja tembus duduk di atasnya.
Atau kali lain, ketika sebuah tempat dikeramatkan dilarang dimasuki oleh siapapun. Yo sama, jangan nekat! Mungkin mikir positifnya, mungkin tujuannya biar tempat itu tetap lestari.
Jika kita tidak bisa percaya, setidaknya kita bisa mikir positifJika kita tak bisa mikir positif, setidaknya kita bisa saling menghargai..
Wajar jika mereka yang percaya animisme dinamisme percaya dengan murka alam, murka setan penunggu, murka nyi roro kidul, murka buto ijo, atau sederet tokoh yang dianggap keramat lainnya
Wajar, jika mereka yang percaya agama, kemudian percaya dengan apa yang disebut azab, karma atau peringatan Tuhan
Pun, wajar juga jika mereka yang percaya tokoh politiknya benar, selalu percaya bahwa tokoh politiknya bagaikan ultraman pembela kebenaran
Manusia, memiliki kepercayaannya masing-masing. Dan manusia, bertindak berdasarkan apa yang dipercayainya. Bahkan mereka yang mengaku tidak percaya apapun, kenyataannya tetap percaya dengan pemikiran mereka sendiri.
Semuanya wajar, yang tidak wajar adalah yang mengaku Indonesia tapi masih saja bikin rusuh, membuat dan menyebar hoax kemana-mana hanya demi menggiring kepercayaan orang agar sama dengan pemikirannya.
Yang tidak wajar, adalah mereka yang di tengah kekhawatiran bencana, membuat hoax membuat panik orang-orang, bangsa mereka sendiri
Yang tidak wajar, adalah mereka yang di tengah duka Indonesia memanfaatkan situasi untuk menarik simpati
Yang tidak wajar adalah mereka yang dalam bencana berdebat ini salah siapa?
.
.
.
Yo wes lah, orasah salah-salahan. Kalau ada yang bilang bencana terjadi karena orang sana 'gini-gini'. Kalau 'gini-gini' nya memang hal yang buruk, berati yo wes, pengingat diri sendiri aja agar kita nggak ikut 'gini-gini'. Tapi yo jangan langsung ngecap orang sana semua 'gini-gini'. Belum tentu! Nggak usah nyinyir kalau tak setuju, nggak usah nyebar juga kalau nggak tau kebenaran. Mending koreksi diri sendiri.
Lalu, mohon maap, kalau ada yang bilang ini peringatan Tuhan lantaran ada acara berbau LGBT di Bali, yo saran saya sebagai warga biasa, jangan dianggap remeh. Kan memang bukan budaya kita, kalau akhirnya kemarin dibatalkan, ya besuk-besuk yang punya kewenangan memberi izin acara jangan mengijinkan untuk diadakan lagi. Kalau nggak bisa menerima ini dihubung-hubungkan dengan peringatan dan azab, setidaknya bisa menghargai bahwa memang itu bukanlah budaya bangsa ini.
Terus itu, yang jadi buzer-buzer politik, atau yang fanatik dengan politik-politik tertentu, mbok ya bersikap sewajarnya. Gugunen unen-unen Jowo “menang tanpo ngasorake”. Yang artinya menang tanpa merendahkan. Daripada merendahkan, gotong royong saja bikin prestasi. Nggak usahlah nyambung-nyambungin urusan politik sama bencana
Yang hobi nyinyir-nyinyir pendapat orang soal bencana nyinyirin diri sendiri dulu deh, lo udah bantu apa ke mereka. Waiittt, ini saya juga lagi nyinyirin diri sendiri.
Huaaahhhh…. Ini apa sih, travel blog kok catatannya jadi ngalor ngidul gini. Ahh sudahlah. Saya akhiri catatan ini sampai di sini. Semoga setelah ini saya tidak dinyinyiri. Hiks, apalah saya manusia tak sempurna, buanyak sekali kurangnya. Mohon dimaafkan jika kita tidak sepaham
4 comments
Semoga saja kedepannya tidak terjadi hal-hal seperti itu ya mbak :)
ReplyDeleteIya mbak. Amin...
DeleteYang pasti semua peristiwa itu membuat saya kemudian banyak merenung dan berbenah Mbak. :(
ReplyDeleteSetidaknya instrospeksi diri kita sendiri ya mbak...
DeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)