Wayang Village Kampung Wayang Kepuhsari, Dan Cerita Tentang Persebaran Islam di Tanah Jawa (Bagian 1)
Saya baru saja berpamitan hendak pulang sebelum saya memberitahu pakde bahwa beberapa waktu sebelumnya saya baru saja berkunjung ke Wayang Village, Kampung Wayang Kepuhsari yang ada di Manyaran Wonogiri.
Siapa sangka, pemberitahuan singkat tersebut justru membuat saya kembali duduk, dan berbincang lagi dengan pakde dalam perbincangan yang pada akhirnya mengulur kepulangan saya nyaris satu jam kemudian.
docpri |
“Tanah Jawa iku jaman bien Jalma mara, Jalma mati, [1]” ujar pakde sembari menyilakan kakinya.
Kalau sudah mengambil posisi seperti itu, saya hapal benar, sebentar lagi saya bakal mendapat cerita yang panjang kali lebar.
“Nopo niku, De? [2]” tanya saya merasa sedikit ganjil mendengar kalimat tersebut.
“Sapa sing mara, bakale mati, ya Pak? [3]” tebak sepupu ikut gabung dalam perbincangan sore yang mendung.
“Iyo. Tanah Jawa jaman bien orenek sing iso ngleboni. Tapi amarga Aji Saka, akhire alon-alon iso dileboni, [4]” ceritanya dengan memasang muka penuh antusiasme, tapi tetap stay kalem.
Biasanya pakde saya adalah orang konyol. Ada-ada saja tingkah konyolnya. Mulai dari mengambil selilit gigi pakai drei lah, keliru keramas pakai lavenda lah, ngobatin kutu air pakai lem castol gegara dikira salep lah, atau lain waktu nembang tembang dolanan yang liriknya ia gubah dengan celotehan yang bikin ngakak.
Tapi, kalau sudah berurusan dengan cerita, ia akan menjadi sosok pencerita yang serius, tapi sangat menyenangkan untuk disimak. Ia selalu menceritakan hal-hal tak terduga. Tentang sejarah nenek moyang keluarga kami, sejarah tempat-tempat Wonogiri, legenda, dongeng atau cerita apapun yang seringnya ‘saya baru tahu’
“Emang, cerita Ajisaka iku ada beneran?” ingatan saya lantas terbang ke buku cerita Ajisaka hadiah Dancow yang saya baca ketika masih kecil dulu
“Enek. Iku tokoh Islam sing mlebu Njowo [5]” jelasnya lagi.
“Ooo, itu kenapa, tokoh Ajisaka dalam cerita selalu digambarkan sebagai tokoh bersorban?” Sepupu saya mencoba mengira-ira.
Ingatan saya kemudian melanglangbuana ke berbagai versi cerita Ajisaka. Karena dulu saya pernah menulis tentang Bledug Kuwu yang erat kaitannya dengan legenda Ajisaka, jadi ingatan saya juga langsung berlari ke sana.
Memang Ajisaka berkembang dalam banyak versi dan beragam pandangan asal muasal. Tapi inti dari semua versi, persamaan yang bisa ditarik adalah Ajisaka adalah orang yang berpengaruh di tanah Jawa dan yang pertama menciptakan Aksara Jawa Hanacaraka.
“Jawa iku, klenike kuat. Ora ono wong njobo sing wani ngambah Tanah Jowo. Tapi coro-corone Ajisaka iku kan Kiai. Dadi yo wani mlebu, [6]” ceritanya lagi.
“Tapi yo enek eleke, amarga tanah Jawa iso dileboni, wong-wong asing, penjajah, bar kui yo iso do mlebu, [7]” pendapatnya kemudian.
Saya sendiri tidak tahu, dan saya rasa kebenaran akan cerita pakde ini pun abu-abu. Akan tetapi, dari beberapa sumber, ada yang menjelaskan bahwa aksara Jawa adalah salah satu sarana agar masyarakat Jawa jaman dahulu, mulai dekat dengan huruf-huruf Arab. Salah satunya dengan memunculkan Aksara Jawa Hanacaraka yang mana bentuknya disamarkan mirip huruf Arab dipandang dari lika-liku bentuknya serta tanda bacanya. Tujuannya, agar masyarakat Jawa tidak merasa asing dengan huruf-huruf Al Quran nantinya
Mengutip dari sini Aksara Jawa memiliki beberapa periode perkembangan dari jaman ke jaman. Bermula dari aksara Pallawa, Aksara Kawi Awal, Aksara Kawi Akhir, Aksara Majapahit hingga Aksara Hanacaraka pasca Majapahit. Dan pada era Mataram huruf-huruf itu semakin banyak dan berkembang hingga seperti sekarang. Aksara rekan dalam aksara Jawa pun terlihat mengusung vokal-vokal yang mendukung penyebutan bahasa Arab seperti kha, dza, fa, za, dan gha.
“Ora gampang nyebarne Islam ning tanah Jawa. Makane para wali bien golek coro supayane Islam bisa diterima [8],” lanjutnya lagi.
“Wayang itu salah satu medianya ya De?” tanya saya kemudian.
“Iya. Wayang iku kreasine Sunan Kalijaga,” ujarnya lagi. Saya manggut-manggut merasa sudah sangat tidak asing lagi dengan informasi ini.
Saya jadi teringat saat masih SD, saya pernah menanyakan kenapa bentuk wayang seperti yang kita lihat hari ini. Aneh, sedikit lucu, sedikit seram dan apa ya pokoknya saya merasa aneh saja. Saya yang sedari kecil tontonannya anime, ngerasa nggak bisa melogika dengan bentuk wayang yang aneh seperti itu. Kalau gambar komik atau anime nih, kan mirip orang. Bentuknya bisa dilogika walau kadang juga aneh.
Ketika dibuat versi orangnya atau costplay anime bener-bener mirip. Ultraman versi orang, bisa. Monster versi orang, bisa juga. Doraemon versi orang pun juga bisa. Tapi wayang versi orang? Wayang yang dimainkan uong, mana ada yang bentuknya benar-benar mirip wayang itu sendiri.
Sosok tokoh anime, ambil contoh saja Sasukenya Naruto. Dalam versi kartun, saya tahu, Sasuke itu lelaki tampan. Saya bahkan dulu bisa sangat jatuh cinta dengan gambar itu. Wkwkwk.
Tapi saat Simbah bercerita “Janaka iku bagus” [9]. Saya hanya garuk-garuk kepala. Bagian mana coba yang bisa saya maknai bahwa bentuk aneh itu adalah “lelaki tampan”?
Tapi ketika dibuat versi orang, dimainkan oleh sosok yang benar-benar berbentuk manusia, baru di situ kan, saya bisa mengerti arti kata “bagus”.
Intinya, dulu saya benar-benar tidak mengerti kenapa wayang bentuknya seperti itu. Dan kenapa ketika dimainkan oleh manusia, manusianya tidak dibuat menyerupai bentuk wayang. Tapi yeahh, lama-lama saya tahu sendiri. Wayang berbentuk aneh karena bentuk wayang dibuat sesuai dengan konsep Islam oleh para wali, yangmana dalam Islam sangat dianjurkan untuk tidak membuat gambar-gambar yang menyerupai manusia sempurna.
“Kalau di cerita India, cerita Mahabarata beda sama kisah Mahabarata yang kita kenal dalam pewayangan selama ini,”Pakde melanjutkan pembicaraan lagi
“Contoh, De?” saya pernah mendengar keterangan ini, tapi saya sendiri kurang paham perbedaannya. Maklum saja, saya tidak begitu mengerti cerita-cerita wayang meskipun saya mengaguminya, dan saya kebetulan tidak pernah menonton drama India Mahabarata yang dulu begitu terkenal kecuali sekilas saja kalau lagi main ke tempat teman yang kebetulan menyalakan ANTV
“Salah satunya Drupadi. Drupadi itu, kalau dalam cerita Mahabarata versi India, dia itu istri dari semua para pandawa,”
“Hahh???” saya mlongo. Ada ya, cerita itu? “Pandawa itu kan saudara semua? Masak semua dinikahi?”
“Dalam cerita, dikisahkan Drupadi itu perempuan dari api suci jadi selalu bisa kembali suci,” lanjut pakde lagi. Saya kembali mlongo.
“Kalau versi Jawa?”
“Suaminya Cuma satu. Yudisthira. Karena dalam Islam tidak ada poliandri. Jadi nilai-nilai semacam itu yang digubah para wali dalam cerita Mahabarata,”
“Lalu ada Srikandhi. Srikandhi dalam Mahabarata bisa dibilang transgender,” lanjut pakde lagi.
“Hah??? Yang bener De? Kalau di Jawa, padahal wanita-wanita hebat sering disebut dengan ‘Srikandhi’”
“Hyaa, itulah bedanya. Srikandhi dalam Mahabarata India mulanya adalah pria. Tapi terlahir kembali sebagai wanita yang kemudian dibesarkan sebagai laki-laki. Tapi ia kemudian menikah dengan perempuan setelah bertukar kelamin,”
“Para wali mengubah cerita menjadi Srikandhi itu perempuan tangguh, cantik tapi bisa dibilang tomboy. Dia jago berperang, dan menjadi istri dari Janaka,”
Saya berdecak Wow, kemana saja saya selama ini? Nggak pernah tahu hal-hal semacam itu.
“Tokoh Mahabarata versi Jawa, juga lebih banyak daripada versi Indianya. Contoh, adanya para punakawan. Punakawan iku eneke gur nang Jowo. Nama-nama para Punakawan iku dijupuk seko bahasa Arab. Semar iku seko Ismar. Petruk kui seko Fat-ruk. Bagong kui seko Baghaa. Terus nek gareng kui seko Nala Gareng, Nala khairan,[10]” ujarnya dan saya makin terheran-heran. Walah, saya kira Punakawan itu ada karena ceritanya memang demikian.
“Terus enek eneh Janaka, kui seko Jannah, surga. Terus Werkudara iku seko Walqodaro, percaya qada dan qadar. Jimat Kalimasada sing dadi ajiane Puntadewa iku seko tembung Kalimat Syahadat,” Ia masih melanjutkan.
Hemm, kalau saja saya tidak pernah mendengar bahwa wayang itu salah satu media dakwah Sunan Kalijaga, maupun santri-santri kanjeng Sunan, saya pasti bakal ngira kalau wayang itu tidak ada sangkut pautnya sama persebaran Islam di Indonesia.
“Hla pie?” tanya sepupu saat saya mengemukakan pendapat tersebut.
“Hla nggak tau hubungan nama-nama itu, atau gubahan-gubahan cerita semacam itu. Seperti nggak ada hubungannya sama sekali sama Islam,”
“Ya begitulah, kan untuk mengenalkan sebuah agama baru kala itu, pastinya tidak bisa terang-terangan. Sedikit-demi sedikit. Diawali dengan budi pekertinya dulu,” pendapat sepupu lagi.
Saya manggut-manggut. Banyak memang, tradisi-tradisi para wali yang kadang terkesan ambigu ketika kita tidak tahu bagaimana sejarahnya. Masa transisi yang dilakukan para wali pastinya berat. Pada akhirnya, era sekarang dimana masa transisi sudah berlalu, menggali lebih jauh untuk tahu lebih dalam jadi lebih bisa dilakukan. Dan pada akhirnya keputusan untuk bersikap seperti apa pun 'usai tahu' ada di tangan masing-masing.
Yang pasti, wayang adalah salah satu karya seni yang menarik. Bukan hanya ceritanya yang rumit dan penuh filosofi. Proses pembuatan wayang pun terbilang rumit. Dalam kunjungan saya ke Wayang Village, saya mendapat penjelasan dari salah satu pembuatnya bagaimana panjangnya proses pembuatan wayang.
Bermula dari kulit kambing, kerbau atau sapi yang sudah dikeringkan, selanjutnya kulit-kulit tersebut dikerok. Proses pengerokan ini menghasilkan lembaran kulit tanpa bulu berwarna kekuningan. Kulit tersebut selanjutnya dipotong sesuai kebutuhan, dan direndam dalam air selama semalam lantas dikentheng atau dijemur tapi tanpa kena sinar matahari langsung. Pengentengan kulit dilakukan selama 3-4 hari. Usai kering, selanjutnya wayang dicoret atau digambar, menggunakan bolpoin atau pensil. Tahap selanjutnya adalah pemahatan atau pentatahan, diamplas, kemudian melewati proses pewarnaan, dan yang terakhir adalah penggapitan.
Penggapitan wayang sendiri bisa menggunakan fiber, maupun tanduk kerbau, baik kerbau hitam maupun kerbau bule. Gapit wayang juga menjadi penentu dari harga wayang tersebut.
Seperti apa Wayang Village Kampung Wayang Kepuhsari sendiri? Bisa dibaca di Postingan bagian ke dua Wayang Village Kampung Wayang Kepuhsari, Dan Cerita Tentang Persebaran Islam di Tanah Jawa (Bagian 2)
wayang dikentheng |
Penggapitan wayang sendiri bisa menggunakan fiber, maupun tanduk kerbau, baik kerbau hitam maupun kerbau bule. Gapit wayang juga menjadi penentu dari harga wayang tersebut.
Seperti apa Wayang Village Kampung Wayang Kepuhsari sendiri? Bisa dibaca di Postingan bagian ke dua Wayang Village Kampung Wayang Kepuhsari, Dan Cerita Tentang Persebaran Islam di Tanah Jawa (Bagian 2)
[1] Tanah Jawa itu, jaman dahulu Jalma mara Jalma mati
[2] Apa itu, De?
[3] Siapa yang datang, bakal mati, ya Pak?
[4] Iya, Tanah Jawa jaman dahulu tidak ada yang bisa masuk. Tapi karena Ajisaka akhirnya pelan-pelan bisa didatangi
[5] Ada. Itu tokoh Islam yang masuk di Jawa
[6] Jawa itu kleniknya (klenik=hal-hal berbau magic) kuat. Tidak ada orang luar yang berani masuk ke tanah Jawa. Tapi Ajisaka itu semacam kiai, jadi ya berani masuk
[7] Tapi ya ada sisi buruknya, karena bisa dimasuki, orang-orang asing setelahnya jadi bisa masuk
[8] Tidak mudah menyebarkan Islam di Jawa. Oleh karena itu para wali dulu mencari cara supaya bisa diterima
[9] Janaka itu tampan
[10] Punakawan itu adanya hanya di Jawa. Nama-nama para punakawan diambil dari bahasa Arab. Semar itu dari Ismar. Petruk dari Fat-ruk. Bagong dari Baghaa, lalu Gareng itu dari Nala Gareng, Nala Khairan
[2] Apa itu, De?
[3] Siapa yang datang, bakal mati, ya Pak?
[4] Iya, Tanah Jawa jaman dahulu tidak ada yang bisa masuk. Tapi karena Ajisaka akhirnya pelan-pelan bisa didatangi
[5] Ada. Itu tokoh Islam yang masuk di Jawa
[6] Jawa itu kleniknya (klenik=hal-hal berbau magic) kuat. Tidak ada orang luar yang berani masuk ke tanah Jawa. Tapi Ajisaka itu semacam kiai, jadi ya berani masuk
[7] Tapi ya ada sisi buruknya, karena bisa dimasuki, orang-orang asing setelahnya jadi bisa masuk
[8] Tidak mudah menyebarkan Islam di Jawa. Oleh karena itu para wali dulu mencari cara supaya bisa diterima
[9] Janaka itu tampan
[10] Punakawan itu adanya hanya di Jawa. Nama-nama para punakawan diambil dari bahasa Arab. Semar itu dari Ismar. Petruk dari Fat-ruk. Bagong dari Baghaa, lalu Gareng itu dari Nala Gareng, Nala Khairan
6 comments
Sebagai pecinta wayang Mahabarata... saya jadi bernostalgia membaca tulisan mbak Aida.
ReplyDeleteBanyak yang belum tahu juga, perbedaan kisah Mahabarata versi India dan Jawa. Termasuk soal punokawan yang hanya di versi Jawa
Banyak yang belum tau memang mbak. Saya pun juga baru tau dari ngobrol ma pakde beberapa waktu lalu
Deletewah suka sekali nih tulisan aku suak wayang jd mau deh ke kampung wayang ini suatu saat
ReplyDeleteAmin. Thx mb. Semoga bisa ke sana mb
DeleteSudah pernah baca ttg kisah resi agastya? Konon resi ini seorang bakhta Siwa yg datang ke nusantara utk menyebarkan dharma. Patungnya masi ada banyak di prambanan. Sebagai resi, ia sering dimintai petunjuk oleh para ksatria/raja. Makanya dia dianggap sebagai sosok pamomong raja. Perawakannya gemuk, pendek. Persis spt penggambaran Semar. Setelah beratus tahun kemudian, org jawa jg masi meyakini bahwa resi agastya manitis dalam wujud lain utk membantu menuntun para raja nusantara. Salah tu titisannya itu dipercaya sebagai sosok Sabdopalon.
ReplyDeleteOia, nama Janaka itu jg anda dlm bahasa sansekerta lho. Itu nama lazim di india kuno.Bapaknya Sinta dalam kisah Ramayana itu namanya jg Janaka. Dalam kita veda dan puruna, nama Janaka juga disebut.
Banyak kan versinya.. Aq seneng bgt pelajarin yg gini 😄😄😄
Gak begitu ngerti mbak. Aku cuma tau sabdo palon itu merk jamu 😂 sama pernah denger kalo sabdo palon itu berhubungan sama ramalan jayabaya ya? Tapi itupun katanya ada dua versi, cuplikan serat dharmagandhul sama yg jayabaya asli
DeleteWohh, begitu ya mbak. Mungkin karena pas era kalijaga pengertian nama itu disesuaikan dengan tujuan sunan mungkin ya? Seperti jimat kalimasada itu. Itu kalo di wikipedia konon aslinya bukan langsung kalimat sahadat tapi dari kata kalimahosaddha. Tapi mungkin karena pas jaman sunan jadi disesuaikan dengan artian itu. Aku mikire mungkin koyo lagu 'hau shiang-haushiang', digubah lirike neng jowo dadi 'sayang-sayang sing tak sayang'padaal artine asli udu kui 😂
Well, aku yo seneng mbak crito begini ini. Tapi banyaknya versi kadang bikin mumet. Jadi aku ya cuma sekedar wae 😂😂
Semoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)