Balada Pejalan Bokek: Bermalam di Bakauheni Lampung
Travel - Usai dari Pulau Merak kami sempat bingung mau travelling Bakauheni atau tidak. Berhubung ke Pulau Merak cukup irit, kami akhirnya memutuskan untuk lanjut saja nyebrang ke Bakauheni
Informasi mengenai kami bisa menyebrang ke Bakauheni ini kami dapat dari itenary tambahan Antin. Dia sempat tanya mau nyebrang ke Bakauheni sekalian atau tidak. Saya iyakan aja kalau memang deket.
Kesalahan kami adalah membiarkan kebiasaan kami tidak browsing terlalu banyak saat akan pergi ke suatu tempat. Biar ada kejutannya gitu maksudnya. Biasanya selain mencari info kendaraan dan biaya perjalanan, plus sekilas wujud objek yang akan saya kunjungi di pencarian gambar, saya tidak mencari detil info lain-lain.
Dan karena merasa itenary Antin sudah cukup jelas, plus semula Antin berencana ikut meskipun akhirnya nggak jadi, saya makin malas browsing dan malah santai-santai saja. Saya hanya sekedar mencari tau tentang Pulau Merak, sedangkan Bakauheni sendiri saya abaikan. Sama sekali saya tidak mencari tahu Bakauheni itu apa
Salah Paham Di Bakauheni
Hal paling parah yang terjadi adalah bisa-bisanya kami bertiga tidak tau kalau ternyata Bakauheni adalah Lampung. Alamak, digeguyu pitik kalau kata budhe saya. Ngisin-isini.
Jadi sepanjang perjalanan, pikiran kami Bakauheni itu adalah Pulau. Pulau kecil antara Jawa dan Sumatra. Pulau kecil macem Pulau Merak. Pulau kecil yang bisa sebentar saja kami singgahi, serta pulau yang saya pikir masih masuk wilayah Pulau Jawa.
Pembicaraan dengan orang-orang yang kami temui pun menjadi aneh. Yang sebetulnya sudah saya rasakan sejak bertanya kepada petugas loket.
“Mbak, nanti kalau di Bakauheni, beli tiket kapal dari Bakauheni ke Lampung berapa ya?” tanya saya iseng usai membayar tiket kapal Pelabuhan Merak-Bakauheni. Petugas loket itu diam berpikir, seperti mencerna pertanyaan saya. Dari ekspresi diam sesaatnya ini saya sudah merasa aneh. Namun saya abaikan saat ia kemudian menjawab
“Ya sama Rp. 15.000,”
Huhuy, mungkin si Mbak loket ngira pertanyaan yang saya maksud adalah ongkos nyebrang balik Bakauheni-Merak.Gegara jawaban si Mbak loket tadi, kami merasa santai-santai saja saat rupanya memasuki kapal berati kami sedang bersiap OTW menuju Lampung.
Kapal Duta Banten sudah berdiri di ujung jalan layang pelabuhan Merak. Memasukinya, kami sempat terpukau, kapal Feri satu ini begitu resik. Fasilitas di kapal inipun lumayan komplit, mulai dari restaurant, ruang tunggu di dalam kapal yang berupa kursi-kursi kayu berjajar yang bersih tertata, mushola, ruang tunggu AC, pokoknya ini kapal feri menyenangkan utamanya karena kebersihannya
Kapal Feri yang akan membawa kami ke Bakauheni ini juga memanjakan kami yang gila memandang laut. Tepian kapal yang resik, dan kebetulan sepi menjadi sasaran kami menikmati senja dari atas kapal.
Kami mulai panik saat hari kian petang tapi kapal tak kunjung sampai. Karena masih mengira menuju Pulau kecil, jadi kami kira perjalanan bakal hanya sekitar setengah sampai satu jam. Kereta terakhir balik ke Rangkas padahal kurang dari pukul 20.00, sementara sampai menjelang Isya pun kapal kami tak kunjung mendarat di Bakauheni.
“Buk, Bakauheni itu ada penduduknya Buk?” tanya saya kepada seorang Ibu-ibu usai kami selesai sholat maghrib.
Ibu-ibu di depan kami mengernyit aneh, tapi kemudian tetap memberikan jawaban. “Ya ada mbak. Ada penduduknya. Ada rumah di sana, ada toko, ada pasar,” ujarnya.
Saya ngakak kalau ingat ini. Ealah Da, Da. hla wong Bakauheni itu bukan nama Pulau tapi nama kecamatan ya jelas saja ada penghuninya to ya!!
Kami megangguk-angguk saja saat itu. Dalam hati membatin, syukurlah, itu berarti aman kalaupun kami kemalaman.
“Kita mau nginep?” pertanyaan Erin ini menjadi pembahasan kami selanjutnya. Kepalang tanggung kalau harus nekat balik malam-malam nanti.
“Inget Woy, anggaran kita nggak masuk buat sewa penginapan,” saya mengingatkan. Kami bertiga lantas terbahak-bahak. Menertawakan kondisi kami yang payah. Kemaleman di atas kapal menuju tempat antah berantah tanpa persiapan, dan parahnya dengan dana yang mepet. Bahkan kami tak membawa charger sementara kondisi baterai HP kami bertiga nyaris kerontang.
“Buk, kalau menginap di pelabuhan Bakauheni itu, bisa ya Buk?” tanya saya mencoba mencari alternatif.
“Bisa, Mbak. Menginap saja di pelabuhan Bakauheni. Ada ruang tunggunya,” ujar si Ibu membuat kami lega.
Sekitar 2,5 jam perjalanan, kapal akhirnya berlabuh di Bakauheni. Ketika keluar kapal dan menyusuri jalan layang pelabuhan, kami berjalan bersisian dengan seorang pemuda yang mengaku akan pulang ke Lampung Timur.
“Mas, kalau mau ke Lampung, dari Bakauheni naik kapal berapa lama?" tanya kami iseng sekedar pengen tahu.
“Kapal apa? Nggak ada kapal buat ke Lampung. Adanya bus. Mau ke Lampung mana?” tanyanya. Saya, Nana dan Erin saling pandang. Bingung.
"Kita cuma mau jalan-jalan saja sih, Mas. Besuk paling pulang lagi naik kapal."
Mas-mas yang lumayan ganteng itu ber O ria kemudian pamit berlalu. Jawaban mas-mas tadi membuat kami berpikir keras. Kenapa jawabannya berbeda dengan jawaban petugas loket?
"Kayaknya kita salah, deh," Nana memelankan laju jalannya.
"Salah gimana?"
"Bakauheni itu bukannya memang pelabuhan di Lampung ya?" Nana mencoba mengingat-ingat sesuatu.
"Heee??Masak?"
"Ahhh iya, aku inget ibuku pernah cerita ke Lampung turun di Bakauheni terus dijemput temennya," Nana berkata heboh. "Kita udah di Lampung," ujarnya yakin.
Saya dan Erin berjalan sambil bengong dengan keyakinan Nana. Tapi tak butuh waktu lama untuk kami bertiga buat ngakak bareng di tengah keterkejutan dan kepanikan baru yang timbul akibat kami mengetahui bahwa kami sudah berada di luar Pulau Jawa.
Tiba-tiba kejanggalan sepanjang perjalanan pun terjawab. Mbak-mbak loket diam sebentar sebelum menjawab pertanyaan, ibu-ibu yang mengernyit aneh. Lalu mas-mas yang bilang nggak ada kapal buat ke Lampung. Semua jadi jelas. Ke Lampung dari Bakauheni tentu saja menjangkaunya menggunakan bus dan bukannya kapal, hla wong Bakauheni dan wilayah Lampung yang lain itu satu daratan. Ngapain pula pakai kapal?
Dan yang harusnya saya sadari dari awal, jika memang Bakauheni hanyalah Pulau Kecil, Ngapain juga pakai Kapal feri? Ohh, hari itu saya benar-benar merasa oon.
Lampung, Saya Di Sini
Ruang tunggu Bakauheni adalah bagian bangunan yang terintegrasi antara pelabuhan dan terminal Bakauheni. Tempatnya luas, bersih, dan berkesan modern. Saat kami memasukinya, baru terlihat beberapa orang saja yang menggelar karpet di sana. Daripada menggelar karpet baru lagi, kami memilih bergabung saja dengan 2 orang perempuan yang sudah lebih dulu menggelar karpet.
"Kalau di Bakauheni, hati-hati, Mbak. Di sini rawan. Banyak calo, dan copet di sini," usai meletakkan barang-barang dan mencari posisi enak buat duduk kami mulai mengobrol dengan perempuan di samping saya.
"Ini kalau keluar dari sini, bakalan banyak calo yang yang nyamperin," tambahnya lagi membuat saya menelan ludah. Bayangan saya berlari ke pengalaman dikerubuti calo kala di Pulau Gadung beberapa tahun silam.
"Orang-orang di sini kan ya beda Mbak sama orang-orang di Jawa. Jadi ya lebih rawan kalau di banding dengan Calo Pulau Gadung. Saya saja yang Orang Lampung malas di sini kalau nggak karna terpaksa," lanjutnya lagi makin membuat saya ngeri.
"Iya Mbak hati-hati. Orang-orang pinter aja sering ketipu saat disini," di samping Mbak-mbak tadi, seorang Ibu-ibu ikut menyambung. Saya dan Erin maki ngeri.
Memberitahu orang rumah dan beberapa teman kalau kami sedang di Bakauheni, rupanya malah memperparah kengerian kami. Semua Whatsap yang masuk berujar bahwa Bakauheni rawan. Puncaknya, kami dimarahi orang rumah karena semua ketololan itu.
Saya jadi bertanya-tanya sebegitu terkenalkah Bakauheni dengan calonya? Dan parahnya, kami bahkan baru tahu apa itu Bakauheni. Duhh. Browsing tentang Bakauheni diantara baterai yang tersisa juga makin menambah rasa horor di benak.
Tak hanya terkenal sebagai tempat copet dan calo, bahkan Bakauheni sering dilakukan razia penyelundupan shabu-shabu. Dan saat itu saya juga baru tahu Bahwa Lampung bahkan terkenal dengan sebutan Tanah Begal.
Rasanya kami tadi tidak takut apa-apa kalau saja tidak diberitahu semua itu. Rasanya kami tadi masih bisa santai-santai menyadari berada di Lampung secara tak terduga. Ahh, andai kami tadi tidak tahu apa-apa. Malam itu pastilah saya bisa tidur nyenyak.
Berbekal charger pinjaman saya berjalan agak jauh ke dekat kamar mandi mencoba mencharger HP. Saat itulah seorang bapak-bapak yang ngakunya petugas kamar mandi mendekat memperingatkan saya untuk berhati-hati dengan Ibu-ibu yang tidur satu karpet dengan kita yang tadi ikut ngobrol. Saya menurut saja, karena pada dasarnya sejak awal saya sudah curiga sejak ia cerita kalau dia merupakan korban letusan gunung Merapi yang kemudian tinggal dengan saudaranya di Lampung. Saya makin curiga ketika dia tiba-tiba nyambung dan berujar 'orang pinter saja mudah dibohongi' dan makin merasa aneh dengan sosoknya ketika tiba-tiba bertanya kepada saya 'Mbak pernah naik pesawat?' saya hanya ngakak saat dia bertanya.
Si bapak penjaga kamar mandi itu menjelaskan kalau si Ibu sering menipu dengan modus pura-pura nggak punya uang untuk pulang. Namun saya lega ketika ia berujar kalau si Ibu nggak pernah nyopet. Yahh, setidaknya berhati-hati pada penipu dalam kondisi seperti ini lebih mudah daripada berhati-hati dari copet. Ya iyalah, kalau ditipu meminta uang sekian ratus ribu ya mana bisa? Duit kita aja seratus ribu kagak genep :-D Tapi kalau sampai dicopet: dompet, kamera, HP itu kan benda berharga kita hari itu. Bisa gawat kalau sampai ilang semua.
"Security hanya berjaga sampai pukul 12 saja, Mbak. Nanti kalau mau tidur di tengah aja Mbak. Pas dimana kamera CCTV bisa memantau," giliran kami mengobrol dengan security yang menjaga Pelabuan Bakauheni.
"Mbak, kalau memang besuk mau keliling sekitar Lampung sini bisa hubungi Mas ini, dia Ojek resmi di Bakauheni. Selama masih di dalam ruang tunggu, lebih aman Mbak. Kalau sudah di luar memang sedikit berbahaya apalagi kalian perempuan semua. Besuk biar dia yang sekalian ngejauhin kalian dari calo. Besuk kalau memang jadi, biar dia hubungi juga tukang ojek resmi yang lain," ujarnya.
"Simpan nomor saya saja, Mbak. dipikirkan dulu besuk mau kemana, mau balik atau mau keliling sekitar sini? Kalau jadi mau keliling bisa hubungi saya," si Tukang Ojek lantas menyebutkan nomornya.
Kami merasa beruntung bertemu dengan security Pelabuhan Bakauheni yang banyak memberikan kami saran sebagai seseorang yang baru pertama kalinya tiba di sana. Dia juga mengenalkan kami kepada tukang ojek resmi yang juga baik.
Malam itu, saya belum sepenuhnya tenang meskipun mendengar nasihat Pak Security dan tukang ojek yang terlihat baik. Yang kedua, kami juga masih bingung besuk mau gimana. Pasalnya si Tukang Ojek menawarkan keliling pantai sekitar Bakauheni dan ke Menara Siger dengan tarif Rp 70.000 per orang. Besok kami tidak mungkin menyetujuinya. Mepet broo, nggak cukup uang kita.
Tiap beberapa waktu kapal mengaum. Suaranya menggelegar masuk sampai di dalam ruang tunggu pelabuhan. Tiap auman itu selesai menyala, orang-orang riuh menuruni tangga. Beberapa terus melanjutkan berjalan keluar, namun beberapa tertinggal di ruang Tunggu. Maka tak heran, kala malam kian larut, Ruang tunggu Pelabuhan Bakauheni semakin banyak orang yang terbujur. Tidur melepas lelah di atas bentangan karpet biru.
Diantara kami bertiga, hanya Nana yang bisa tidur dengan tenang setenang-tenangnya. Bahkan rencana kita untuk tidur bergantian hanya tinggal uapnya doang. Pada akhirnya hanya saya dan Erin yang gantian. Itupun waktu saya mencari posisi tidur, saya tidak benar-benar bisa tidur. Sementara Nana, bocah itu tubuhnya digoyang-goyangkan berapa kalipun hanya bergeming.
Lepas tengah malam, mbak-mbak yang tidur di samping saya bangun. Dan diantara keheningan malam pelabuhan Bakauheni perempuan muda itu berbagi kisah tentang dirinya yang pernah menjadi TKI sejak lulus SD.
“Emang boleh, mbak?”
“Badan saya kan bongsor. Nggak ketahuan nuain umur,” ujarnya. Benar juga, tubuh perempuan itu memang lumayan gemuk.
“Saya dulu jadi TKI mbak, 3 tahun di Arab, 2,5 tahun di Dubai,” ujarnya lagi. Sementara saya geleng-geleng, mengingat kembali saat lulus SD saya tak lebih dari anak-anak yang masih cupu. Saya benar-benar tak bisa membayangkan diri saya sendiri lulus SD lalu jadi TKI ilegal. Pasti tiap hari nangis terus kerjaan saya.
“Sebenernya orang tua nglarang, tapi saya mau sendiri,” jelasnya lagi. Perempuan itu tak lebih tua dari saya, tapi pengalamannya jauh sekali di atas saya.
“Memang gaji TKI berapa, mbak?” tanya saya penasaran.
“Di Arab dikit, Mbak. Waktu itu 2,5-3 jutaan. Tapi kalau Dubai 3-5 jutaan,”
“Masak Cuma segitu, Mbak. Saya kira gaji TKI bisa sampai puluhan juta,”
“Itu kalau lama nggak pulang terus uangnya dikumpulin, Mbak!” Ia terkekeh.
Saya garuk-garuk jilbab, ikutan terkekeh.
Bakauheni, pada akhirnya berakumulasi menjadi jauh lebih ramah usai mbak-mbak ini berbagi cerita. Tiba-tiba ke khawatiran saya tentang Bakauheni terasa tak ada apa-apanya dibandingkan membayangkan si Mbaknya berada di Arab Saudi sebagai pembantu rumah tangga saat baru saja lulus kelas 6 SD. Aihhh…
“Waktu pertama kali di Arab, mbak nggak takut?”
“Majikan saya saat di Dubai maupun di Arab baik semua. Yakin saya Orang itu, kalau dia baik, dimanapun selalu dipertemukan dengan orang baik.”
Clesss. Ucapannya langsung menenangkan saya.
Menjelang pagi, hingga benar-benar pagi saya terus menenangkan diri dengan mengingat kalimat itu tiap kali ketakutan terbersit.
Benar juga, Alhamdulillah, kami benar-benar bertemu orang baik di Bakauheni mulai dari Mbaknya, security, hingga tukang ojek resmi yang melindugi kami dari rayuan para calo yang berusaha mendekat.
Yap, esok paginya saat kami hendak solat Subuh dan keluar dari ruang tunggu, segerombolan entah calo, entah tukang ojek mengerubungi kami dan terus mengikuti hingga mushola. Saat kami selesai solat, mas tukang ojek datang menyapa dan ia terus menjauhkan kami dari para calo dengan cara menjawabi pertanyan teman-temannya. Padahal kami tidak jadi menggunakan jasanya. Bahkan kami diberi banyak tips supaya nanti saat berjalan menuju Menara Siger kami tidak terus menerus disamperin orang.
“Nanti pasti banyak yang menghampiri kalian. Bilang saja mau ke desa Kenyanyan. Jangan bilang mau ke Siger,” ujarnya. Saya mencoba mengingat baik-baik pesan ini.
“Kalau ada yang tanya, dijawab saja. Jangan diam. Orang itu kalau bertanya terus nggak dijawab, pasti sebal,” pesannya lagi. Saya mengangguk angguk.
Jalan Menuju Siger |
Tepat seperti yang diperkirakan Mas Ojek, kami benar-benar dihampiri orang saat berjalan menuju Menara Siger. Dan kami menggunakan tips yang disarankan oleh Mas Ojek. Alhamdulillah, akhirnya kami benar-benar sampai di Menara Siger pada akhirnya. Dan kami makin seneng ketika tahu bahwa Menara Siger merupakan titik 0 km nya Lampung. Ibukk, aku tekan Lampung
Saat kami menginjakkan kaki di Siger, sebuah tempat Wisata yang dekat dengan pelabuhan Bakauheni, kami benar-benar bersyukur karena Ia yang di atas sana memberi kejutan Lampung dengan cara yang tidak biasa. Meskipun kami bisa disebut bodoh, karena tidak lebih dulu mencari tahu tentang tempat yang kita tuju. Yang pasti saya percaya, semua yang terjadi adalah kehendakNya. Termasuk ketidaksengajaan ini.
17 comments
Lost in city nih ceritanya hehee gpp jadi pengalaman berharga ya mbak dan nggak akan dilupakan.
ReplyDeleteTiap traveling aku sih suka menganut paham : in google we trust! wakakkaka :D apalah kami tanpa google entah browsing atau maps nya :D
hehehe, iya mbak. kenangan banget itu.
Deletekalau mbak rani kan liburannya sama anak-anak pastinya, ya kalau sama mereka ya baiknya emang liburan yang nggak "lost in city" lah :D
Pas banget cerah yo..
ReplyDeleteBiasanya seringnya berkabut eh di Bakauheni tu..
Btw, cuman pernah lewat Bakauheni tok eh... Di Siger tu isinya apa toh..?
iya mas, alhamdulillah, cerah kemarin. Pas aku intip lewat kacanya ada miniatur kapal, baju adat, juga barang-barang sovenir gitu
DeleteLa og g mebu sekalian eh..?
DeleteBaru buka jm 10 katanya. Kita jam 9 udah turun eg
DeleteWoalah.. Awan tenan bukake..
DeleteKerenn kaka 😃
ReplyDeletehahaha. thankyu kak
DeleteNekat amat mbak traveling tanpa persiapan matang gitu.
ReplyDeleteTapi emang lebih seru sih, lebih menantang.
hehehe. la kemarin pumpung ke Jakarta mas sekalian gitu maksudnya.
DeleteHuum, lebih berkesan :-D
Saya juga ketika berjalan sedikit keluar Dr pelabuhan dah kaya artis yang langsung di serbu (wartawan alias calo) risih,kesel,sebel.. cuma bisa angguk-angguk
ReplyDeletenah kan sama juga. adik kemarin juga ternyata darisini. dia cerita juga dikerubuti tapi untung nggak sampai ditarik-tarik
DeleteDari bakauheni ke menara siger jadinya naik apa & berapa ongkosnya? Aman gak sih buat solo traveler? Mksh.
ReplyDeleteWahh saya baru baca... Waktu itu dari bakauheni sampai ke siger jalan kaki. Karna mepet dananya😂
DeleteLagi mau ke pulau merak kecil nih. Ga sengaja mampir ke sini. Terhibur sekaligus nambah wawasan baca ceritanya hehe
ReplyDeleteTerima kasih mas, semoga bermanfaat dan lancar perjalanannya
DeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)