Melukis Warna di Kampung Pelangi Semarang
“Pak… saya numpang istirahat sebentar di sini, nggih? “ diselingi nafas yang tersenggal, saya meminta ijin duduk di cakruk sebuah rumah di Kampung Pelangi Semarang.
“Monggo, Mbak,” ujarnya sembari membuka 2 buah kaleng cat
“Istirahat dulu, Mbak. Nanti baru dilanjutin lagi jalannya,” nasihatnya tampak paham, bahwa jalanan Kampung Pelangi menguras nafas saya.
Laki-laki separuh baya itu lantas mengalihkan pandangan ke bagian cakruk kosong diantara lokasi kami berdua duduk. Sebuah lukisan tampaknya akan ia buat.
Kening laki-laki itu berkerut, jemarinya memain-mainkan kuas di udara seolah merancang pola dalam pikirannya. Beberapa saat kemudian, kuas mulai dicelup dan goresan-goresan pola dasar lingkaran pelan-pelan mulai dibuat.
“Saya tadi udah lewat sini sebenarnya Pak. Ini saya balik lagi, nyari kunci. Kunci saya ilang,”curhat saya tanpa ditanya.
Si Bapak tak menanggapi. Ia terlihat sibuk dengan goresan-goresan barunya.
“Saya kira kunci saya ketinggalan di parkiran. Tapi nggak ada. Tukang parkir nggak nemu. Saya telusuri lagi tadi dari bawah sampai sini, juga belum kelihatan. Lelah saya pak,” saya masih saja nerocos. Bapak itu masih bergeming.
"Padahal saya harus cepet-cepet balik Solo, takut kemaleman. Ehh, malah kunci saya ilang," sekali lagi saya nerocos. Tak peduli sebenarnya bapak itu mau mendengar apa yang saya omongin atau tidak. Saya hanya seorang diri ke Kampung Pelangi. Omongan ini, sebenarnya sebatas luapan rasa sebal pada diri sendiri karna begitu mudahnya lupa, dan terlalu sering terjebak pada kecerobohan berulang.
Jika sebelumnya kamera saya ketinggalan di seberang Pulau Kalong, atau sebelumnya lagi kunci motor saya pernah tertinggal di jalan menuju Gunung Gandul. Maka kini saya harus kembali kehilangan barang. Kunci motor, ngilang di kampung Pelangi Wonosari. Huhhh, Kampung Pelangi hari itu benar-benar memberi warna.
Gara-gara kehilangan kunci ini juga saya jadi berpisah dengan seorang kenalan baru, orang Solo, yang sempat jadi teman saya menikmati sebaran warna di Kampung Pelangi Semarang sebelum akhirnya saya sadar, kunci motor saya tidak ada.
“Kuncinya, itu bukan sih, mbak?” Saat sepertinya satu pola selesai dibentuk, si bapak baru merespon ucapan saya. Pandangannya mendongak ke atas, ke sisi sebrang rumah.
“Mana, Pak?”
“Itu…” kuasnya ia tuding ke udara. Mata saya mengikuti arahannya.
Butuh beberapa saat hingga saya bisa ngeh: ada sebuah kontak motor dengan gantungan biru bertuliskan biznet, menggantung di sebuah kawat yang mencuat dari sebuah tiang di sebrang rumah si bapak.
“Kuncikuuu!!!” sontak saya berteriak girang, dan langsung berdiri mengambilnya.
“Tadi saya gantungkan di situ, Mbak. Biasanya kalau ada kunci ketinggalan, saya gantung di situ. Biar yang kehilangan, lihat,” ujarnya.
Ahh, gemas. Kok yo enek-enek? Kok ya bisa-bisanya juga, saya duduk di tempat yang tepat, di sebuah cakruk depan rumah bapak yang ternyata menemukan kunci saya?
Hemm, mungkin Yang Di Atas ingin menegur keteledoran saya dengan semua candaan ini. Tapi Alhamdulillah lah, setidaknya tidak benar-benar ilang
“Berarti pernah ada juga Pak yang kehilangan kunci seperti saya?”
“Iya, mbak.” Saya mendadak seneng karena ternyata bukan saya saja orang yang pernah teledor di Kampung Pelangi Semarang, di depan rumah si Bapak ini.
Dari arah bawah, bocah-bocah usia SD terlihat riuh bercanda dengan teman-temannya. Meriahnya warna jalan dan tembok di Kampung Pelangi Semarang rasanya senada dengan meriahnya kegirangan bocah-bocah itu. Mereka berlarian seolah tak memiliki rasa lelah melewati jalan Kampung Pelangi yang lumayan menanjak tinggi dan cukup menguras nafas. Padahal di awal tadi, saya dan seorang perempuan yang juga berasal dari Solo, harus berkali-kali beristirahat melewati jalanan itu. Pun ketika saya balik lagi melewati jalan itu mencari kunci, nafas saya kembali mau habis rasanya. Yah, mungkin karena anak-anak itu sudah terbiasa.
“Bapak mau nglukis apa?” saya kembali duduk di cakruk,.
“Ya cuman mau dibikin pola-pola gini aja, Mbak,” ujarnya. Gambar lingkaran serta garis-garis terlihat masih butuh proses panjang untuk benar-benar selesai. Meski saya belum paham, bagaimana nanti hasil akhir dari gambaran itu,tapi sepertinya itu bakal menjadi gambar yang bagus.
“Boleh saya ikutan nglukis, Pak?” iseng saya bertanya. Sudah berlelah-lelah saya naik lagi, sepertinya hari itu bakalan menarik kalau saya melakukan sesuatu.
“Mbaknya bisa nglukis?” tanyanya.
Saya tertawa. Dibilang bisa, ya tidak. Tapi setidaknya saya pernah iseng belajar ngelukis sih.
“Saya cuma pengen meninggalkan kenangan di tempat ini saja, Pak,” ujar saya. Sok yes banget jawaban saya. Namun yang pasti, ucapan barusan berhasil membuat si Bapak begitu rela cakruknya saya corat-coret, bahkan ia mengeluarkan lagi 2 cat warna lain.
Satu celupan kuas warna ungu saya mulai dengan menggoreskan bentuk lingkaran di cakruk. Satu celupan dengan warna merah saya gores dengan bermula pusat di tengah lingkaran, lalu saya tarik keluar memutar setengah lingkaran hingga menuju ke tengah lagi. Baru beberapa goresan, saya langsung sadar,
“Iki angel - Ini Susah-”
Akhhhh,,,,
Ternyata ngelukis dengan cat tembok nggak segampang apa yang saya bayangkan. Dulu biasanya saya memakai cat sablon. Ceritanya, dulu selama 2 tahunan lebih, saya pernah punya usaha masker lukis. Saat itulah, kerap kali saya ikutan belajar ngelukis maupun sekedar melihat teknik pelukis masker-masker saya.
Pada akhirnya warna cat yang sudah tergores saya campur-campur lagi. Saya ulang lagi membuat lingkaran. Selanjutnya, saya coba teknik gabungan dua warna kuas yang dicelupkan di ujung-ujung kuas. Saya tarik dari luar lantas mengerucut ke dalam. Menyamping pada pinggir-pinggirnya. Tapi lagi-lagi, apa yang ada dalam bayangan saya tak tercipta dalam semua goresan-goresan itu. Saya ambil kuas kecil, saya sapukan ke tengah dengan hati-hati berharap bisa menciptakan sebuah gradasi namun lagi-lagi gagal. Pada akhirnya warna itu saya campur-campur lagi dan lagi, saya tutupin dengan satu warna ungu. Saya coba lagi, namun gagal lagi. Saya tutupin lagi, saya coba lagi. Beberapa kali begitu, hingga akhirnya saya menyerah.
Hah, ini sebenarnya faktor cat, faktor tangan yang sudah lama tak digunakan, atau memang kemampuan itu sudah hilang?
Apapun penyebabnya yang pasti saya sebal.
“Pun dangu mboten nggambar, Pak. Lali, -Sudah lama nggak buat gambar, Pak. Lupa-” alasan saya. Si bapak terkekeh. “Nggak papa, Mbak. Lanjut saja,” ujarnya.
Saya meghela nafas panjang. “Nanti kalau jelek, boleh kok Pak dibusak mawon daripada ngelek-eleki Kampung Pelangi.” nyesek juga. Sok-sokan mau nggambar ternyata zonk.
“Nggak papa, mbak. Nggak papa,” si bapak masih menghibur. Setengah frustasi saya ngublek-ublek cat lagi. Selama beberapa saat berusaha membuat motif bunga, akhirnya jadi juga. Tapi bukan seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. Hla wong nggak jadi-jadi, daripada saya nggak bikin apa-apa, ya sudah saya bikin seadanya.
“Pun, pak, mpun. Mboten saged kulo. Niki mengke nak ajeng jenengan busak, dibusak mawon. Sing penting kulo pun moto, -Sudah Pak, sudah. Nanti kalau mau dihapus, dihapus saja. Yang penting saya sudah memfoto-” ujar saya pasrah lantas menjepretkan hape ke atas lukisan wagu itu.
“Ora dibusak, Mbak. Tenang mawon. Kenang-kenangan kok mau dibusak,” sahut seorang bapak-bapak lain yang baru saja nimbrung saat saya berusaha melukis untuk kesekian kalinya tadi. Bapak pemilik cakruk hanya tersenyum. Senyum ambigu, yang tampaknya mau bilang gambaran saya memang parah, tapi pekewuh. Wkwkwk. Sudahlah, mau dihapus atau tidak, pada akhirnya saya seneng saja, setidaknya bapak yang ramah itu sudah mengijinkan saya nyobain corat-coret. Walaupun mungkin kenang-kenangan gambaran saya hanya bakal terabadi dalam foto, setidaknya saya punya kenangan lah.
Kenapa Allah mengijinkan kunci saya terjatuh di tempat ini, mungkin juga salah satunya biar saya punya hiburan cerita kenangan yang gemas-gemas senang di kampung Pelangi. Warna perjalanan begini selalu lebih berkesan buat dikenang bukan?
Spot Foto Favorit |
“Monggo, Mbak,” ujarnya sembari membuka 2 buah kaleng cat
“Istirahat dulu, Mbak. Nanti baru dilanjutin lagi jalannya,” nasihatnya tampak paham, bahwa jalanan Kampung Pelangi menguras nafas saya.
Laki-laki separuh baya itu lantas mengalihkan pandangan ke bagian cakruk kosong diantara lokasi kami berdua duduk. Sebuah lukisan tampaknya akan ia buat.
Kening laki-laki itu berkerut, jemarinya memain-mainkan kuas di udara seolah merancang pola dalam pikirannya. Beberapa saat kemudian, kuas mulai dicelup dan goresan-goresan pola dasar lingkaran pelan-pelan mulai dibuat.
“Saya tadi udah lewat sini sebenarnya Pak. Ini saya balik lagi, nyari kunci. Kunci saya ilang,”curhat saya tanpa ditanya.
Si Bapak tak menanggapi. Ia terlihat sibuk dengan goresan-goresan barunya.
“Saya kira kunci saya ketinggalan di parkiran. Tapi nggak ada. Tukang parkir nggak nemu. Saya telusuri lagi tadi dari bawah sampai sini, juga belum kelihatan. Lelah saya pak,” saya masih saja nerocos. Bapak itu masih bergeming.
"Padahal saya harus cepet-cepet balik Solo, takut kemaleman. Ehh, malah kunci saya ilang," sekali lagi saya nerocos. Tak peduli sebenarnya bapak itu mau mendengar apa yang saya omongin atau tidak. Saya hanya seorang diri ke Kampung Pelangi. Omongan ini, sebenarnya sebatas luapan rasa sebal pada diri sendiri karna begitu mudahnya lupa, dan terlalu sering terjebak pada kecerobohan berulang.
Jika sebelumnya kamera saya ketinggalan di seberang Pulau Kalong, atau sebelumnya lagi kunci motor saya pernah tertinggal di jalan menuju Gunung Gandul. Maka kini saya harus kembali kehilangan barang. Kunci motor, ngilang di kampung Pelangi Wonosari. Huhhh, Kampung Pelangi hari itu benar-benar memberi warna.
Gara-gara kehilangan kunci ini juga saya jadi berpisah dengan seorang kenalan baru, orang Solo, yang sempat jadi teman saya menikmati sebaran warna di Kampung Pelangi Semarang sebelum akhirnya saya sadar, kunci motor saya tidak ada.
Tangga-tangga kampung pelangi tak satupun luput dari cat |
“Kuncinya, itu bukan sih, mbak?” Saat sepertinya satu pola selesai dibentuk, si bapak baru merespon ucapan saya. Pandangannya mendongak ke atas, ke sisi sebrang rumah.
“Mana, Pak?”
“Itu…” kuasnya ia tuding ke udara. Mata saya mengikuti arahannya.
Butuh beberapa saat hingga saya bisa ngeh: ada sebuah kontak motor dengan gantungan biru bertuliskan biznet, menggantung di sebuah kawat yang mencuat dari sebuah tiang di sebrang rumah si bapak.
“Kuncikuuu!!!” sontak saya berteriak girang, dan langsung berdiri mengambilnya.
“Tadi saya gantungkan di situ, Mbak. Biasanya kalau ada kunci ketinggalan, saya gantung di situ. Biar yang kehilangan, lihat,” ujarnya.
Ahh, gemas. Kok yo enek-enek? Kok ya bisa-bisanya juga, saya duduk di tempat yang tepat, di sebuah cakruk depan rumah bapak yang ternyata menemukan kunci saya?
Hemm, mungkin Yang Di Atas ingin menegur keteledoran saya dengan semua candaan ini. Tapi Alhamdulillah lah, setidaknya tidak benar-benar ilang
“Berarti pernah ada juga Pak yang kehilangan kunci seperti saya?”
“Iya, mbak.” Saya mendadak seneng karena ternyata bukan saya saja orang yang pernah teledor di Kampung Pelangi Semarang, di depan rumah si Bapak ini.
Dari arah bawah, bocah-bocah usia SD terlihat riuh bercanda dengan teman-temannya. Meriahnya warna jalan dan tembok di Kampung Pelangi Semarang rasanya senada dengan meriahnya kegirangan bocah-bocah itu. Mereka berlarian seolah tak memiliki rasa lelah melewati jalan Kampung Pelangi yang lumayan menanjak tinggi dan cukup menguras nafas. Padahal di awal tadi, saya dan seorang perempuan yang juga berasal dari Solo, harus berkali-kali beristirahat melewati jalanan itu. Pun ketika saya balik lagi melewati jalan itu mencari kunci, nafas saya kembali mau habis rasanya. Yah, mungkin karena anak-anak itu sudah terbiasa.
“Bapak mau nglukis apa?” saya kembali duduk di cakruk,.
“Ya cuman mau dibikin pola-pola gini aja, Mbak,” ujarnya. Gambar lingkaran serta garis-garis terlihat masih butuh proses panjang untuk benar-benar selesai. Meski saya belum paham, bagaimana nanti hasil akhir dari gambaran itu,tapi sepertinya itu bakal menjadi gambar yang bagus.
“Boleh saya ikutan nglukis, Pak?” iseng saya bertanya. Sudah berlelah-lelah saya naik lagi, sepertinya hari itu bakalan menarik kalau saya melakukan sesuatu.
“Mbaknya bisa nglukis?” tanyanya.
Saya tertawa. Dibilang bisa, ya tidak. Tapi setidaknya saya pernah iseng belajar ngelukis sih.
“Saya cuma pengen meninggalkan kenangan di tempat ini saja, Pak,” ujar saya. Sok yes banget jawaban saya. Namun yang pasti, ucapan barusan berhasil membuat si Bapak begitu rela cakruknya saya corat-coret, bahkan ia mengeluarkan lagi 2 cat warna lain.
Satu celupan kuas warna ungu saya mulai dengan menggoreskan bentuk lingkaran di cakruk. Satu celupan dengan warna merah saya gores dengan bermula pusat di tengah lingkaran, lalu saya tarik keluar memutar setengah lingkaran hingga menuju ke tengah lagi. Baru beberapa goresan, saya langsung sadar,
“Iki angel - Ini Susah-”
Akhhhh,,,,
Ternyata ngelukis dengan cat tembok nggak segampang apa yang saya bayangkan. Dulu biasanya saya memakai cat sablon. Ceritanya, dulu selama 2 tahunan lebih, saya pernah punya usaha masker lukis. Saat itulah, kerap kali saya ikutan belajar ngelukis maupun sekedar melihat teknik pelukis masker-masker saya.
Pada akhirnya warna cat yang sudah tergores saya campur-campur lagi. Saya ulang lagi membuat lingkaran. Selanjutnya, saya coba teknik gabungan dua warna kuas yang dicelupkan di ujung-ujung kuas. Saya tarik dari luar lantas mengerucut ke dalam. Menyamping pada pinggir-pinggirnya. Tapi lagi-lagi, apa yang ada dalam bayangan saya tak tercipta dalam semua goresan-goresan itu. Saya ambil kuas kecil, saya sapukan ke tengah dengan hati-hati berharap bisa menciptakan sebuah gradasi namun lagi-lagi gagal. Pada akhirnya warna itu saya campur-campur lagi dan lagi, saya tutupin dengan satu warna ungu. Saya coba lagi, namun gagal lagi. Saya tutupin lagi, saya coba lagi. Beberapa kali begitu, hingga akhirnya saya menyerah.
Hah, ini sebenarnya faktor cat, faktor tangan yang sudah lama tak digunakan, atau memang kemampuan itu sudah hilang?
Apapun penyebabnya yang pasti saya sebal.
“Pun dangu mboten nggambar, Pak. Lali, -Sudah lama nggak buat gambar, Pak. Lupa-” alasan saya. Si bapak terkekeh. “Nggak papa, Mbak. Lanjut saja,” ujarnya.
Saya meghela nafas panjang. “Nanti kalau jelek, boleh kok Pak dibusak mawon daripada ngelek-eleki Kampung Pelangi.” nyesek juga. Sok-sokan mau nggambar ternyata zonk.
“Nggak papa, mbak. Nggak papa,” si bapak masih menghibur. Setengah frustasi saya ngublek-ublek cat lagi. Selama beberapa saat berusaha membuat motif bunga, akhirnya jadi juga. Tapi bukan seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. Hla wong nggak jadi-jadi, daripada saya nggak bikin apa-apa, ya sudah saya bikin seadanya.
“Pun, pak, mpun. Mboten saged kulo. Niki mengke nak ajeng jenengan busak, dibusak mawon. Sing penting kulo pun moto, -Sudah Pak, sudah. Nanti kalau mau dihapus, dihapus saja. Yang penting saya sudah memfoto-” ujar saya pasrah lantas menjepretkan hape ke atas lukisan wagu itu.
“Ora dibusak, Mbak. Tenang mawon. Kenang-kenangan kok mau dibusak,” sahut seorang bapak-bapak lain yang baru saja nimbrung saat saya berusaha melukis untuk kesekian kalinya tadi. Bapak pemilik cakruk hanya tersenyum. Senyum ambigu, yang tampaknya mau bilang gambaran saya memang parah, tapi pekewuh. Wkwkwk. Sudahlah, mau dihapus atau tidak, pada akhirnya saya seneng saja, setidaknya bapak yang ramah itu sudah mengijinkan saya nyobain corat-coret. Walaupun mungkin kenang-kenangan gambaran saya hanya bakal terabadi dalam foto, setidaknya saya punya kenangan lah.
Baca Juga
Kenapa Allah mengijinkan kunci saya terjatuh di tempat ini, mungkin juga salah satunya biar saya punya hiburan cerita kenangan yang gemas-gemas senang di kampung Pelangi. Warna perjalanan begini selalu lebih berkesan buat dikenang bukan?
Yah, bagaimanapun warna itu menarik. Sama halnya dengan warna Kampung Pelangi. Warna telah mengubah sedikit banyak kampung ini. Dari yang semula kumuh, tak menarik, kini menjadi sebuah perkampungan yang jadi jujugan banyak orang, termasuk saya ketika berwisata ke Semarang.
Menuju Kampung Pelangi Semarang
Saya tidak begitu mengerti jalanan kota Semarang, namun dengan bantuan google map kemarin, lokasi ini jadi begitu mudah. Seingat saya, lokasi Kampung ini pokoknya dekat dengan RS Kariadi Semarang. Tampak dari pinggiran jalan, Kampung Pelangi membentuk jajaran rumah yang berjenjang karena lokasinya yang memang berada di daerah lembah Gunung Berintik. Kampung ini mudah dikenali, karena dari jalan raya warnanya mencolok mata. Ada beberapa jalur untuk menuju ke Kampung Pelangi Semarang. Untuk kemari bisa ditempuh menggunakan trans Semarang.
Nah, kalau kamu mau kemari pakai motor, ikutin saja ya peta di google map
Ada Apa Saja di Kampung Pelangi, dan berapa tiket masuk kesana?
salah satu lukisan yang biasanya dipake pengunjung biar keliatan terbang |
Seperti namanya, kampung ini penuh dengan warna-warni bagaikan pelangi. Apa saja di cat berwarna di sini. Kreasi catnya bermacam-macam, ada garis-garis pelangi, aneka kartun, bermacam gambar ala-ala lukisan 3 dimensi, juga lukisan batik. Sebuah lokasi yang fotogenik untuk dijadikan jujugan.
Selain menikmati spot-spot tembok yang instagramable, kalau kemari bisa pula sekalian membeli rangkaian bunga di Pasar Bunga Kalisari, atau juga menikmati indahnya ketinggian Semarang dari puncak Kampung Pelangi Wonosari
Untuk singgah dan berpetualang seru menjelajah tiap sudut Kampung Pelangi, kemarin saya hanya membayar parkir saja Rp. 3.000 serta biaya seiklasnya yang dimasukkan di kotak sebelum jembatan menuju Kampung Pelangi. Rasanya Kampung Pelangi Semarang cocok untuk dijadikan pilihan wisata murah kalau berkunjung ke Semarang.Selain menikmati spot-spot tembok yang instagramable, kalau kemari bisa pula sekalian membeli rangkaian bunga di Pasar Bunga Kalisari, atau juga menikmati indahnya ketinggian Semarang dari puncak Kampung Pelangi Wonosari
Oh iya, ini video singkat tentang Kampung Pelangi Semarang yang saya kirim ke NET CJ
Kampung Pelangi Semarang
Alamat: Jl. DR. Sutomo IV No.89, Randusari, Semarang Sel., Kota Semarang, Jawa Tengah 50244
25 comments
Rumah sakit yg dimaksud, yg di bawahnya itu po? Kalo itu bukan Kariadi sih mbak, tp RST.
ReplyDeleteAku malah belum kesini😀
Jadi masih terus pengecatan ya? Blm sepenuhnya jadi.
Yang lurus Jo, pokoknya kalau lurus nanti tembusnya ke rs. Kariadi
DeleteKeren banget kampung warnanya. :D
ReplyDeleteHihi,,, rekomen mbak kalau main semarang
DeleteKeren banget tuh kalau buat foto2. :D
ReplyDeleteYup lokasi instagramable semarang
DeleteBisa pas gitu ya mbak istirahatnya di dekat tempat kuncinya yang hilang.
ReplyDeleteJadi punya kesempatan buat bikin lukisan deh.
iya pas banget mas
DeleteIya mas. Hikmahnya itu, jadi punya kenangan 😂
ReplyDeleteWow.. So colorpull..
ReplyDeleteSudah lama tidak mengunjungi Semarang...
yup berwarna-warni
DeleteAih cantik banget kampungnyaa....
ReplyDeletemain aja ke sana kalau ke semarang :)
DeleteBenar-benar bewarna banget ya, kayak pelangi. Semoga aku bisa ke Semarang lagi dan mengunjungi kampung Pelangi.
ReplyDeleteamin... moga ada waktu dan rejeki buat segera wisata ke Semarang :)
Deleteudah pernah ke kampung pelangi Semarang aku mbak. Seneng pokoknya. Makasih sharingnya mbak. Salam kenal dari wong Kendal.
ReplyDeleteSalam kenal kembali mbak :)
Deletewah ikut melukis juga asyik sekali
ReplyDeletehiyapp. Asyikkk
Deletewihhhhhhhhhhhhhhhhhhhh kerennnnnnnnnnn mbak .. sekarang lagi trend ya kampung warna warni
ReplyDeleteyup.. iya mbak. Banyak sekarang kampung-kampung pelangi di Indonesia
DeleteVideonya apiiik, aku belum pernah main ke sana hihi
ReplyDeleteKeren mb Aidaaaa..
ReplyDeletesaya orang sana tapi belum pernah..huhuhu..padahal tinggal melangkah dari rumah.
videonya ciamik mbaaak
foto yang di jembatan itu keren mbak..
ReplyDeletekesanku seperti di Mexico he.. he..
Waaaah jadi pengen kesana, ke kampung Pelangi. Biar bisa ngelukis juga kayak mba Aida hihihi
ReplyDeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)