Pulau Kalong, Melawan Ngeri Menyebrang Laut Kidul Jogja
Nama bocah itu Malikin. dialah yang hari itu memberi kami pengalaman istimewa menyebrang Pulau Kalong. Pengalaman yang saya tidak yakin, berani kembali untuk mengulanginya.
***
“Menyebrang Rp. 25.000, mbak,” bocah berbaju hitam tiba-tiba muncul menawari kami.
Deburan ombak Pulau Kalong yang mengetuki kaki pulau itu dengan liukan arogannya cukup membuat kami terpesona. Sampai-sampai kami tak sadar, ada manusia yang sedari tadi duduk di batuan dekat jembatan penyebrangan.
“Gimana? Nyebrang?” tanya saya pada yang lain. Pertanyaan ini, saya tahu hanya akan berakhir menjadi sebuah pertanyaan retoris belaka. Tanpa mereka perlu menjawab, tanpa kami membuat rencana di awal untuk menyebrang pun saya sudah memperkirakan konsekuensi mengusulkan Pulau Kalong sebagai tujuan trip kita hari itu. Mereka pasti mengajak menyebrang.
“Nyebrang nho, wes adoh-adoh tekan kene og,” saya menelan ludah mendengar jawaban Nana. Satu jawaban yang diiyakan semua. Meskipun saya sudah hafal dengan jawaban ini, namun rasa ngeri kali ini, tak bisa terpungkiri menelusup kuat dalam hati.
Saya kembali membuang pandang ke jembatan, ke arah bawah laut, lalu ke pulau, berganti-ganti pandang dintara ketiga hal itu. Dentuman ombak keras mengalun, meliuk tanpa henti seolah berontak penuh amarah ingin menjuntai menggapai jembatan. Sementara, jembatan kayu yang dibuat renggang dengan hanya saling terkait dengan tali tambang itu nampak lemah, rapuh, dan gontai mempertahankan diri digoyang hembusan angin.
“Mau keliling pulau? Kalau mau saya temani,” tawaran Malikin menjadi sebuah tawaran tak terduga. Sebelumnya kami mengira bahwa Pulau Kalong hanya menawarkan spot foto, sensasi menyebrang, dan seperti yang tertulis di plakatnya: memancing. Tawaran mengelilingi pulaunya tentu langsung kami setujui.
“Nanti, kalau sudah sampai sebrang kalian tunggu di ujung sana ya,” Malikin menunjuk ujung jembatan.
Glekkk. Lagi-lagi saya menelan ludah. Tidak adakah cara lain untuk bisa sampai ujung selain melewati jembatan ini? Batin saya.
“Sopo sik sing nyebrang?”
“Kok aku wedhi yo,”
“Aku iyo. Koe sik ndang,”
“Aku we ngeriii,”
“Aku kok deg-degan. Koe sik wae,”
Kami sedikit berdebat saat kami benar-benar mendekat ke arah jembatan. Yeah, kami hanya wani angas sebenarnya. Sok-sokan berani, tapi sebenarnya rasa takut dalam hati menguasai.
Sebagai satu-satunya laki-laki diantara rombongan kami berempat, Abdi tanpa banyak berkata maupun nimbrung berdebat, langsung saja menyebrang mendahului. Kami menghentikan perdebatan, memperhatikan dengan seksama bagaimana ia berjalan santai dan tenang menapaki satu persatu kayu jembatan Pulau Kalong.
Namun ketika Abdi sampai diujung, kami ribut diskusi kembali.
“Saya temenin dibelakang deh Mbak,” Malikin akhirnya menawarkan alternatif. Ia menawarkan untuk menemani masing-masing dari kami menyebrang. Mungkin Malikin tau, kalau dia tidak menawarkan solusi, maka kami tak akan bergegas dan mengakhiri perdebatan.
Baru setelah diberitahu begitu, kenyataannya kami memang berhenti diskusi. Sesuai janjinya, Malikin mengantar kami.
Angin berhembus, menggoyang air laut, juga menggoyang jembatan yang disusun dari papan-papan kayu itu. Biarpun ditemani Malikin di belakang, tetap saja terasa ngeri.
“Jembatannya dilewati berdua tidak apa-apa?” Nana ragu. Malikin hanya tersenyum, sembari berujar meyakinkan bahwa jembatan itu aman.
Satu persatu dari kami akhirnya mencoba memberanikan diri. Saya menjadi yang terakhir dari rombongan yang menyebrang. Tiap kali melihat Malikin mondar-mandir di atas jembatan saya hanya bisa menggeleg takjub. Bocah 14 tahun itu terlalu berani.
“Ombak di bawah tak akan sampai ke atas jembatan,” saya cukup terhibur dengan ucapan Malikin sebelum kami menyebrang. Dalam hati saya berdoa, semoga ombak memang bergulung wajar. Saat kita ketakutan, siapa lagi yang bisa kita harapkan selain kuasa Tuhan untuk menyelamatkan?
Biarpun begitu, tetap saja dada berdesir-desir. Desau ombak tak juga mau berhenti. Andai saya punya remote ajaib, saya tentu akan menyalakan mode mute ke arah ombak-ombak dan angin-angin itu.
Saking paniknya, tangan saya sampai tremor. Untung saja saya tidak terpuruk lemas saking ketakutannya. Horor saja membayangkan andaikan saking takutnya saya tiba-tiba lemas tak bertenaga. Siapa yang bakal menggendong saya kembali? Jangankan menggendong, dilalui dengan jalan biasa saja jembatan itu bergoyang.
Malikin menemani kami menyebrang |
“Lewat sini Mbak,” Malikin memberi aba-aba. Kami mulai mengikutinya. Menaiki satu persatu batuan. Terus naik, dan makin lama kami malah berjumpa dengan sisi curam tebing Pulau Kalong. Di situlah saya mulai merasa aneh.
“Ini sampai sana, jalannya seperti ini?” saya mulai mencium tanda-tanda bahwa menyebrang jembatan bukanlah satu-satunya kengerian yang akan kami hadapi.
Malikin mengiyakan. Saya ternganga di sela-sela nafas yang memburu saking tiba-tiba kami dihadapkan pada medan berupa tebing dengan batuan yang harus didaki.
Bayangan saya, bahwa keliling pulau adalah melalui hamparan datar rerumputan hijau seperti Pulau Kalong kalau dilihat dari jauh, pupus sudah. Mengelilingi Pulau Kalong yang sebenarnya adalah benar-benar mengelilingi pulaunya. Menelusur lewat tepiannya. Permasalahannya, sisi-sisi pinggiran Pulau Kalong adalah batu-batuan karang, berwarna hitam dan berongga-rongga. Diantara celah-celah batu itu kami melihat bayagan gelap dibawah. Sementara sisi pinggir kami adalah laut lepas tanpa pengaman. Yang bisa dipastikan, kalau jatuh pasti plung lap, sekali plung terjatuh, lapp seketika, ilang ditelan laut.
Astaga, saya rasanya benar-benar tak percaya dengan apa yang saya lakukan.
Ingin mundur, tapi tanggung. Balik pun butuh usaha yang nggak gampang. Saya harus menuruni batu-batu itu lagi? Tidak! Itu jauh lebih menakutkan. Maka terus berjalan adalah satu-satunya yang bisa kami pilih.
Gila saja rasanya, melewati medan se-extrem itu tapi saya harus menggunakan rok jeans. Ini suatu kesalahan besar. Meskipun saya mengenakan dobelan celana panjang. Tapi masa iya saya tiba-tiba mau melepas rok? kan ya lucu. Jadilah akhirnya saya tetap mengenakannya, dengan konsekuensi saya harus menengok ke belakang sebelum melangkah, guna memastikan rok tak tersangkut. Tapi meski begitu beberapa kali tetap saja luput. Berkali-kali ujung rok saya tertambat batu tiap melangkah, untung tak sampai terjatuh.
Agak jauh di depan kami, Malikin bisa berjalan dengan cepat. Walau usianya masih belia, tapi dia sudah terlatih. Nyaris setiap hari kalau tidak sedang sekolah, remaja itu datang ke Pulau Kalong. Menemani bapaknya menjaga jembatan, dan kadangkala ikut menginap di Pulau Kalong bersama para pemancing. Hari itu, ayah Malikin sedang mencari pakan ternak. Sehingga hanya Malikin yang menjaga jembatan Pulau Kalong seorang diri.
Jembatan penyebrangan Pulau Kalong, merupakan jembatan yang dikelola oleh Malikin dan ayahnya. Jembatan ini membentang sejauh kurang lebih 30 meter. Menurut cerita Malikin dan cerita beberapa warga yang kami temui, jembatan itu dibuat ayah Malikin dengan menghabiskan dana sekitar 30 an juta. Pulau Kalong awalnya hanya digunakan untuk mencari lobster dan memancing. Awalnya hanya berupa tambang dan tali yang dilempar di sana lalu dibuat semacam gondola dengan kayu. Hal ini mengingatkan saya kepada Pantai Timang. Warga Pantai Timang pun dulu menenerangkan fungsi asli gondola di sana persis semacam itu.
“Ini tempat untuk kemping. Sudah ada perkakasnya. Jadi kalau mau menginap di sini tinggal bawa bahan-bahan untuk memasak saja,” lepas dari bukit batuan, Malikin menunjukkan pada kami sebuah gubug sederhana, beratap kain spanduk, bertiang kayu, yang dilengkapi tungku serta kendhil stenlis untuk memasak air. Dia juga menunjukkan tempat mendirikan tenda, berupa sebuah lokasi tanah agak lapang dan datar.
Indah memang membayangkan bangun pagi bertemu view laut jika ngecamp di sini, tapi saya pribadi rasanya tak sanggup jika harus mengulang lagi melewati tepian Pulau Kalong yang tadi kami lewati untuk kamping di sini.
Lepas dari gubug tersebut, Malikin mengajak kami ke area para pemancing biasanya mencari ikan. Kali ini kami tak lagi melewati medan batu. Namun ganti sebuah belukar yang diantaranya tumbuh beberapa pohon pepaya.
Dari depan, Erin, Nana, Abdi, dan Malikin |
Area pemancing, adalah sebuah sudut Pulau Kalong yang dilengkapi dengan tempat duduk bambu, pagar dari tali dan kayu serta sebuah bambu tinggi yang diarahkan ke laut. Ujung bambu itu dililit senar yang menjuntai ke laut persis seperti pancing raksasa, seolah tanda bahwa lokasi ini memang lokasi para pemancing. Dari arah ini, laut jauh terlihat lebih tenang. Seperti kata pepatah, “air tenang menghanyutkan”. Laut luas di bawah kami bisa dipastikan jauh lebih dalam.
Cukup lama kami berada di sana, menikmati sisi lain laut Gunung Kidul dari Pulau Kalong. Juga mendengar cerita dari Malikin tentang Pulau ini yang baru saja diliput televisi, ceritanya semasa kecil yang pernah menjadi tokoh si bolang trans 7, juga cerita tentang asal nama Pulau Kalong itu sendiri.
Pantai Sinden dilihat dari Pulau Kalong |
laut dari Pulau Kalong |
“Dulunya Pulau Kalong ini banyak dihuni kalong (kelelawar) mbak. Tapi kemudian para kalong pindah ke gunung kecil di Pantai Nglambor. Tapi karena gempa Jogja dulu, gunung itu hancur dan kalong-kalong tersebut mati semua,”
“Pulau ini juga disebut Pulau Gelatik, karena di sini banyak juga burung gelatiknya,” ceritanya.
Dari area pemancing, kami bisa bisa melihat Pantai Jungwok, Pantai Nglambor, serta Pantai Sinden yang menyembul di antara sela-sela bukit. Cuaca yang cerah mendukung perjalanan kami menyisir Pulau Kalong. Area pemancing, menjadi semacam area peristirahatan kami untuk menyiapkan mental dan mengumpulkan tenaga lantaran untuk kembali ke arah jembatan kami lagi-lagi harus melewati medan yang mirip seperti tadi. Batuan-batuan hitam, yang beberapa diantaranya berujung lancip, berongga. Sementara di bawah kami adalah lautan yang siap memangsa kalau sampai kami tak berhati-hati.
Saya benar-benar bersyukur saat akhirnya saya sampai lagi di dekat jembatan, lantas meskipun tremor saat kembali menyebrang, rasa syukur karena masih diberi keselamatan tak hentinya saya ucapkan dalam hati. Hari itu Tuhan masih melindungi kami. Masih memaafkan saya lantaran tak berpikir panjang masalah kostum.
Sebelum kami meninggalkan area jembatan penyebrangan, sekali lagi saya melihat Malikin. Bocah itu sudah sibuk bernegosiasi dengan beberapa pengunjung baru yang tampaknya tertarik untuk sekedar foto selfie. Ahh, bocah itu. Semoga Tuhan juga senantiasa melindunginya. Seorang remaja yang di usia belianya sudah menjadi semacam juru kunci sebuah pulau di sebrang laut Jogja.
Berapa Tiket Masuk & Bagaimana Jalur menuju Lokasi Pulau Kalong?
Lokasi Pulau Kalong Gunung Kidul Jogja berada di lingkup pantai Wedi Ombo. Jadi ikuti saja jalan menuju Pantai Wedi Ombo. Setelah berada di komplek Wedi Ombo, maka masuklah ke arah jalan menuju Pantai Jungwok. Nah, nanti motor parkir saja di sekitar halaman parkir Pantai Jungwok. Setelah itu, ikuti jalan yang mengarahkan ke Pantai Greweng (Cerita tentang Pantai Greweng, saya tuliskan kapan-kapan saja.). Jalan menuju pantai ini juga tidaklah mudah, kita harus menerabas persawahan, dan perkebunan penduduk. Setelah sampai di Pantai Greweng, baru naik-naik bukit menuju pulau kalong.
Untuk menyebrang, maupun foto dengan latar jembatan dan laut Pulau Kalong biayanya Rp. 25.000. Sementara kalau berkemah Rp. 50.000 Sedangkan kalau untuk memancing Rp. 100.000. Jangan protes kemahalan ya, bikin jembatan ini nggak gampang dan butuh biaya banyak :-)
Tips saya kalau ke sini jangan lupa kenakan baju yang nyaman yang membuatmu mudah bergerak. Pastikan sandal atau sepatumu tidak licin. Dan tips yang terakhir, kalau kamu keliling Pulau Kalong atau sekedar behenti sebentar di sana, pastikan cek kembali barang-barangmu agar tak ketinggalan. Karena di perjalanan kami waktu itu saya tledor lagi. Saat hampir tiba di jembatan, setelah keliling pulau, kami foto-foto. Saat itulah, saya lupa kalau kamera saya karena kehabisan baterai, saya letakkan di atas bebatuan. Saya baru sadar hal ini ketika kami turun dan makan di dekat Pantai Greweng. Akibatnya, kami harus balik lagi naik turun bukit ke Pulau Kalong, lantas, Abdi dengan baik hatinya kembali menyebrang ke Pulau Kalong karena saat kami kembali Malikin tidak terlihat padahal kami sudah diburu waktu. Jangan ditiru ya, menyebrang tanpa ada suhunya, itu bisa berbahaya. Huhu.
23 comments
aduh aku takut gak ay lewat jembatan itu pastinya kan goyang ya
ReplyDeletegoyang sih mbak, tapi cukup kokoh kok. Jadi Insya Allah aman
DeletePulau Kalong-nya Cakeeeeeeep!!! lumayan sering ke jogja tapi jarang wisata pantai, seringnya di pusat-pusat, tapi tertarik banget sama pantai-pantai di Gunung Kidul yang belakangan ngehits. Ini cakep banget pemandangannya, tapi nggak yakin bakal nyebrang, keliatannya serem, tapi rugi ya kalau nggak nyebrang :)
ReplyDeleteHehe, serem-serem sedap. Serem sih, tapi ya memang sayang kalau sudah ke sini terus nggak nyebrang. Hehe
Deletenaaaah, pas aku nonton foto di blogpost yang di share di fb tak kira itu pantai timang lho mbak, ternyata udu ^^"
ReplyDeletengeri sekali! gek itu bener-bener "polosan" ? nggak ada alat pengaman sama sekali?
hehe. iya mas, polosan, nggak ada pengamannya
DeleteWaduh.. Bikin ingin berkunjung ke sana... T_T
ReplyDeletegek rono mas :D
DeleteMalah lagek masalah kesehatan je mbak...
DeleteNgilu-ngilu sedap lihat jembatannya... Itu ga pake alat pengaman buat jaga-jaga gtu ya?
ReplyDeleteNggak ada mbak. polosan kesana
DeleteDijamin aku ga bakal berani nyberang XD
ReplyDeleteBisa buat camp ya? Apa ga anginnya kenceng sih itu di pulaunya
Iya bisa. Kayaknya nggak terlalu kenceng sih Jo, soalnya yang bagian camp itu agak ke tengah, terus posisi kanan kirinya ada pohon-pohon semaknya. Jadi pendapatku pohonnya itu bisa menahan angin. Menurutku gitu
Deletehehe wajah barunya pulau Kalong ya..beberapa waktu lalu juga kaget, dikirimi foto temen yg mancing disana..udah ada jembatan gantungnya :D
ReplyDeletehihihi. yap. Before after sama tulisanmu mas ^^
DeleteOalah Daaa, nyalimu memang hebaaat...
ReplyDeletehehehe. hla penasaran og mbak :D
Deletewaaaaa aku bacanya ikut deg deg an juga mbak hahaha penasaran pengen coba tapi kok horor
ReplyDeletehehehe.... coba aja mbak. Insya Allah aman. Asal yakin
DeleteGondolanya itu mungkin mas? Masih ada sih tapi kecil. Mungkin juga yang sampean maksud yang di pantai timang mas. Tapi kalo di timang, biaya mahal, 100 ribu buat nyebrang
ReplyDeleteAku juga belum lama ke Jembatan Pulau Kalong. Baca blog kakak jadi nyesel ga nyoba ngelilingin Pulau Kalong.
ReplyDeletewah sayang sekali, padahal asyik loh keliling pulaunya :)
DeleteBoleh juga ini, pengalaman menarik buat kawan-kawan . Ijin share sist. .
ReplyDeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)