Dari Karak Gadingan, Desa Gong Wirun, sampai Ciu Bekonang
Tak cukup menyebrang Kali Bengawan Solo lantas segalanya usai. Perjalanan kami masih harus berlanjut lagi. Lepas dari Bengawan, sepeda dituntun melewati jalur tanah yang becek dan lembek. Pohon-pohon bambu memayungi kami, memberi teduh lepas dari suasana perkotaan yang sedikit gaduh.
Mengunjungi Gadingan, Desa Penghasil Karak Sukoharjo
Jalur berlanjut lagi. Kali ini jalan cor blok menanjak nan sempit. Lantas menurun, dan kemudian datar kembali. Sasaran kunjungan kami yang pertama adalah Kampung Gadingan Sukoharjo. Desa Gadingan Sukoharjo cukup terkenal sebagai daerah penghasil Karak, Kerupuk, Rambak, dan sebangsanya.
Sepeda kembali dikayuh manakala jalanan telah kembali datar. Pemandangan yang tersaji sepanjang kawasan desa Gadingan adalah rumah-rumah yang menjemur karak. Namun sesekali hijau persawahan terlihat berselang diantara jarak-jarak rumah yang beberapa masih cukup panjang bertaut. Sebuah pemandangan yang memberi nuansa segar nan menentramkan khas pedesaan.
Beberapa ibu-ibu sibuk memotong adonan karak yang selesai dikukus ketika kami datang. Beberapa lainnya terlihat sibuk menata karak yang kemudian akan dijemur.
Adonan Karak terlihat memanjang, dan terlihat lembut ketika ia dipotong. Sejatinya saya gemes pengen menggantikan barang sebentar aktivitas ibu-ibu ini. Keliatan gampang kalau secara kasat dipandang. Tapi akhirnya saya lebih memilih duduk saja menonton dengan takzim bagaimana adonan-adonan itu dipotong menjadi irisan tipis. Saya tak yakin saya bisa melakukannya.
“Biasanya waktu pembuatan karak cukup sehari, Mbak. Mulai dari membuat adonan, memotong, menjemur lantas nggorengi. Tapi kalau ada tenaga laki-lakinya. Kalau pas nggak ada, ya nunggu besuk,” sembari potong-potong si Ibu bercerita.
“Tenaga laki-laki? Kenapa harus nunggu tenaga laki-laki buk?” saya masih belum ngeh.
“Iya Mbak, kan harus nguleni adonan. Berat Mbak kalau perempuan,” terangnya.
Membuat adonan karak, sejatinya sama saja dengan membuat gendhar. Bedanya, adalah proses pengolahan setelahnya. Untuk pembuatan karak, setelah adonan beras jadi, selanjutnya dipotong-potong tipis, dijemur, lantas digoreng.
Proses pembuatan karak masih dilakukan dengan sederhana di tempat ini, dan mungkin juga seluruh produsen karak di desa Gadingan. Mulai dari alat kukusan, lumpang, tungku, pencetak, dan untuk menjemur masih terlihat sederhana. Rumahnya pun masih kayu berlantai tanah.
|
“Ini nggak produksi mentahan, buk? Terus penjualannya gimana?” Saya sempat mendengar tadi ada yang bilang kalau tempat produksi ini hanya menjual karak yang sudah digoreng. Aneh juga sih, bukankah seharusnya kalau mentah distribusi penjualan nantinya bakal lebih luas? Karena cenderung lebih awet kan?
“Nggak, mbak. Begini aja udah kewalahan. Untuk penjualannya, nanti ada yang datang ngambil ke sini,” ujarnya. Saya cuma mengangguk-angguk. Wooo, baiklah. Berati produsen karak di sini memang sudah punya pasarnya sendiri.
Seplastik besar karak lantas dikeluarkan. Ini yang ditunggu ngicip karak di tempat produksinya langsung.
“Kalau orang jualan Karak, biasane ngakune karak Gadingan, Mbak,” masih sinambi potong-potong si Ibu kembali bercerita.
“Kenapa memangnya Bu?”
“Ya karna karak Gadingan itu sudah terkenal bagus. Kalau ngaku dari daerah lain ya laku, tapi kurang,” ceritanya. Saya lagi-lagi hanya manggut-manggut. Baru tau saya tentang dunia perkarakan. Saya jadi ingat tentang Ibu-Ibu penjual karak yang sempat kami temui saat nyebrang sungai bengawan Solo. Tentunya, Ibu tadi juga berasal dari desa ini.
Menyambangi Desa Wirun, Desa Gamelan
Sepeda kembali dipacu. Sesudah ngicip karak, dan berpamitan dengan pemilik rumah, kami melanjutkan perjalanan kembali. Dari Gadingan menuju Desa Wirun, jaraknya Masya Allah, lumayan bikin kaki gempor. Namun siapa yang tidak bahagia manakala ngayuh sepeda ramai-ramai, sembari menikmati pemandangan hijau persawahan yang terbentang. Duhh. Segar dan bikin semangat saja rasanya. Apalagi, kami sempat mampir sekedar memulihkan tenaga dengan meneguk es degan di pinggiran hijaunya persawahan saat menjelang sampai di desa Wirun. Kesegaran makin berlipat-lipat.
“Ini salah satu tempat industri gamelan yang pernah dipesan Pak SBY ,” ujar Pak Ajib menjelaskan kepada kami.
Kami digiring berjalan menuju belakang. Sebuah ruang berlantai tanah, Nampak gelap namun terlihat ada nyala yang berkilat. Hawa panas langsung kuat terasa saat kami memasukinya.
Beberapa pekerja terlihat berkerumun. Mengelas sebuah lengkungan berbentuk mirip bokong wajan. Namun dengan ukuran besar. Percikan las berkilat-kilat. Menyala dan menimbulkan bising suara.
Tiba-tiba mereka riuh berkomando. Orang-orang itu lantas menyebar. Seorang pekerja terlihat berjongkok di samping bara api. Seorang lagi duduk disamping semacam mesin dinamo yang sepertinya dipakai untuk mengobarkan api. Lima orang yang lain terlihat duduk-duduk, sembari ada juga yang berdiri.
Benda melengkung mirip wajan tadi selanjutnya digiring dimasukkan ke dalam bara api. Nyala api awalnya pelan, tapi kemudian berkobar-kobar hebat. Kobarannya membumbung tinggi sesekali nyaris menggapai atap. Kilatannya meliuk congkak seolah sedang memberi peringatan kepada siapapun untuk tak coba mendekat.
Saya hanya geleng-geleng. Cukup terkejut dengan apa yang saya lihat. Baru kali ini saya melihat langsung pembuatan gamelan yang ternyata butuh proses seekstrim itu.
Namun cepat-cepat saya mencari posisi aman, dan segera menyesuaikan diri dengan keterkejutan barusan. Seorang yang dari tadi berjongkok, dengan beraninya, membolak-balik gong yang dibakar dengan menggunakan alat panjang di tangan kanan dan kirinya. Saya hanya bisa bertanya dalam hati, apa ia tak kepanasan?
Selang beberapa saat Gong panas itu dikeluarkan dari bara api. Seseorang berkaus tangan besi mirip pemain di film-film bajak laut dengan ujung tangan mirip kail, menggeret gong tersebut ke arah tempat penempaan. Sekitar 5 orang yang tadi duduk dan berdiri lantas bersiap, mengambil posisi memutar mengelilingi gong tersebut. Suara bising Gong yang ditempa secara bergiliran pun bertalu. Bising perunggu itu menjerit membentuk nada-nada yang makin membuat suasana menegangkan.
Selesai ditempa gong tersebut lantas dimasukkan bara api kembali. Proses pembakaran pun terjadi lagi. Begitu seterusnya sampai gong bentuknya sesuai.
“Pak, apa nggak pernah ada kejadian salah nuthuk koncone?” tanya saya pada Pak Ajib. Pak Ajib hanya terkekeh.
“Mereka sudah pengalaman Mbak,”
Saya menggeleng takjub. Dengan posisi badan membungkuk, kepala saling berdekatan. Tangan terangkat sampai atas kepala, mereka lantas bergiliran memukuli gong dengan alat semacam palu. Saya saja horror melihatnya. Kok ya ngeri men. Bagaimana kalau sampai kena temannya?
“Sehari kalau gong besar cuma dapet satu. Kalau gongnya kecil ya bisa dua,” cerita salah satu pekerja sembari menuding ke arah gong yang sudah jadi. Tak jauh dari gong-gong itu ada sebuah lempengan pipih bundar. Dari lempengan itulah, gong-gong dibuat setelah tentu saja melalui proses di ruang yang panas tadi.
Proses panjang pembuatan gamelan tentu saja tak mengherankan kalau sampai membuat harganya mahal. Seperangkat gamelan bisa dihargai minimal 400 an juta. Maklum saja, untuk merampungkan semuanya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Seperangkat gamelan, butuh waktu penyelesaian sekitar 4 bulan.
Sejenak Mengenal Desa Wirun
“Anak muda yang ada di sini ya cuma di tempat nempa gong tadi. Itu udah orang-orang yang paling muda, Mbak,” cerita salah satu pegawai ketika saya menanyakan perihal keberadaan anak muda di tempat ini. Saya penasaran, apa ya masih ada anak muda mau membuat gong? Pasalnya proses pembuatannya bukanlah sesuatu yang mudah kan? Para tukang tempa di dalam padahal dari taksiran saya saja usianya 35 an lebih.
“Itu yang tukang tempa, andaikan libur 2 orang, udah mbak, libur semua. Paling susah ya nyari tukang tempanya,” ceritanya kembali. “Itu saja menjadi seorang penempa, 3 tahun pertama di sana bisa dibilang belum bisa apa-apa. Paling cuma lihat-lihat, sambil nyalain dinamo. Kalau sudah 3 tahun baru mereka bisa jadi tukang tempa,” Jelasnya lagi. Bapak yang saya tanyai ini adalah salah satu pekerja yang kurang lebih sudah di sana selama 15 tahun. Bagiannya adalah menyetel nada.
Ternyata, bukan hanya proses pembuatan gamelannya saja yang panjang. Proses menjadi tukang tempa gamelan pun tak sebentar. Butuh waktu dan tampak tak mudah. Belum lagi, setiap hari bergelut dengan panas, dan pekerjaan berat. Nggak sembarangan orang bisa. Saya jadi ingat salah satu kata-kata Mario Teguh,
“selalu ada sisi megah dari setiap profesi.” Jadi jangan pernah sekalipun meremehkan profesi orang.
Tempat pengrajin gamelan milik Pak Saroyo sendiri memiliki kelebihan dari bahan yang digunakan. Menurut penjelasan Pak Ajib, paduan timah dan perunggu adalah bahan yang bagus digunakan untuk membuat gamelan yang menjadi salah satu bahan yang juga dipakai di tempat ini. Bahkan, kadangkala gamelan juga ada yang sampai dilapisi emas.
Selain sebagai tempat pembuatan Gamelan, Tempat Pak Saroyo ini juga sebagai tempat memperbaiki gamelan-gamelan yang nadanya sudah mulai berubah atau ada kerusakan. Ada beberapa gamelan keraton yang diperbaiki di sana ketika saya datang.
Menyambangi Desa Ciu Bekonang
Bagi Warga sekitaran Solo-Sukoharjo tentunya sudah tak asing lagi dengan nama Ciu Bekonang. Minuman keras yang berasal dari tetesan tebu itu, konon memang sudah terkenal sejak Jaman Belanda diproduksi di daerah ini. Hari itu, dari desa Wirun, perjalanan terakhir kami adalah mengunjungi desa Ciu Bekonang.
Jalanan yang kami lalui masih berupa persawahan di kanan kirinya, namun semakin lama, keriuhan kota Sukoharjo sudah mulai terlihat. Saya terkikik-kikik sendiri, wealah, seriusan ini saya mau ke Pabrik Ciu Bekonang yang legendaris itu???
Diantara sisa-sisa tenaga, kami terus mengayuh pedal sepeda. Mungkin sudah lebih dari 10 km jarak yang kami tempuh sejak dari Gladag hingga ke lokasi ini.
Di depan sebuah rumah, sepeda kami berhenti. Kami lantas berjalan kaki menuju sebuah ruangan di samping rumah itu berada. Ruangan itu berlantai tanah, dan hanya bertembokkan batu bata. Drum-drum plastik besar berisi cairan coklat bergelembung terlihat berjajar. Di lantai depan pintu masuk, ada sebuah lubang kotak nampak gelap. Menurut salah satu pegawai di sana, di situlah tempat dilakukannya fermentasi tetes tebu.
Memasuki bagian dalam ruangan, Tong-tong besi dipasang di atas tungku pembakaran. Pada bagian tengah tubuhnya, alat semacam selang dihubungkan dengan tong-tong yang diberdirikan di depannya. Tong-tong itulah alat-alat yang digunakan untuk proses destilasi.
“Di bagian ini, proses destilasi sari tebu yang sudah difermentasi menjadi alkohol 30 % dilakukan. Alkohol 30% atau yang biasa disebut ciu oleh orang-orang. Nah, dari alkohol 30% itu, kemudian didestilasi kembali menjadi alkohol 70%. Itulah nanti alkohol yang akan digunakan oleh rumah sakit-rumah sakit, atau apotik-apotik,” Salah satu pekerja yang baru saja keluar dari dalam rumah menjelaskan kepada kami sembari menunjuk tempat destilasi yang terpisah.
Baru saya tahu: ciu, alkohol yang kerap kali disalah gunakan oleh orang-orang itu ternyata merupakan alkohol yang kadarnya masih 30 %, ibaratnya ciu adalah bahan mentah yang belum jadi. Sementara seperti kita tahu, alkohol 70% adalah alkohol yang biasanya digunakan dalam dunia medis. Dari industri para perajin alkohol di desa Bekonang inilah selanjutnya dikumpulkan oleh distributor untuk kemudian didistribusikan ke Rumah sakit maupun ke apotek-apotek.
Pada dasarnya industri-industri alkohol di Bekonang diarahkan untuk pembuatan alkohol yang memang nantinya bisa dimanfaatkan dalam dunia medis. Karena itu, Industri-industri alkohol disini banyak yang berijin seperti halnya salah satu industri alkohol yang kami kunjungi.
“Baunya kayak karamel,” komentar saya menerjemahkan aroma yang dari tadi saya cium selama di sana. Mungkin lantaran bahan yang dipakai di sini adalah tebu makanya saya justru mencium aroma karamel. Walaupun ya, sesekali aroma sengak berhembus.
Mengunjungi desa Ciu Bekonang adalah penutup perjalanan kami. Biarpun lelah badan, tapi nyepeda menyusuri Bengawan Solo lantas mengunjungi desa-desa industri di kawasan Sukoharjo adalah hal yang mengasyikkan yang membuat saya lupa kalau kaki sejatinya meronta lelah yang efeknya baru terasa esok paginya. Kaki saya sempat njarem. Tapi untungnya Cuma pas bangun tidur sampai sekitaran menjelang siang kaki sudah pulih kembali.
Trip Bengawan Solo dan SekitarnyaSELFIE SPOT COUNTRY SIDE ADVENTURE ( VILLAGE BIKE TOUR & CETO SUN SET)
9 comments
lhoo masih berlanjut to ini tour sepedanya. aku suka banget karak, atau kalo disini nyebutnya keupuk gendar, meski buatnya ga pake bleng
ReplyDeletemasih mas :D
DeleteWohh, memang ada yang nyebutnya kerupuk gendar? Aku taunya namanya karak saja. Baru tau juga kalau buatnya mirip seperti gendar
Asyik ya mbak keliling desa ke desa melihat pembuatan berbagai macam produk khas kota ini. Aku saja senang bacanya. Walaupun capek banget ngayuh sepeda, tapi terbayarkan ya :D
ReplyDeleteIya mbak. Terbayarkan. Bikin freshh pikiran pokoknya
DeleteWoh, ternyata menarik jg dikunjungi, aku sing lewat lewat wae malah gak ngerti jeronane
ReplyDeletewkwkwk, mbak Nana sesekali ojo gur lewat :D Mampir lahhh
Deletemakasih ceriatnay ,a syik, jadi tahu tuh bikin karak
ReplyDeleteInspiratif untuk segera dijajaki diikuti jejaknya..
ReplyDeleteThanks for sharing kak.
nek rene kapan kapan di jak ya mbak ida
ReplyDeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)