Menapak Orde Baru di Museum Kalitan Solo
Perkara rasa, penasaran adalah ambang pintu yang akan menyeretmu pada kondisi tak bisa melupakan. Sementara soal perjalanan, penasaran itu kerap kali menjadi penyebabmu membawa diri untuk berjalan lebih jauh.
Dan ketika keduanya bergabung, hati-hati saja: penasaran berhasil menjebakmu pada kondisi susah untuk kembali ‘seperti dulu lagi’.
Uhukkk
Uhukkk
***
Yang pasti, perjalanan setahun lalu ini bermula dari sebuah rasa penasaran yang didukung oleh waktu yang kebetulan sedang berkompromi. Liburan maksudnya.
Bermula dari rasa penasaran yang mengganjal tentang sebuah pagar putih tinggi menjulang dengan pohon beringin besar di dekat Masjid Kalitan, pertanyaan pun timbul;
“Ini tempat apa? Kayak Kraton,”
Dan satu-satunya keterangan yang bakal saya dapatkan dari kawan-kawan saya kalau saya bertanya seperti ini adalah:
“Omahe Pak Harto,”
Lantas, jika saya bertanya lebih lanjut:
“Pak Harto dulu pernah tinggal di Solo? Memangnya di situ isinya apaan? Boleh masuk ke situ nggak to?”
Kalau sudah menanyakan pertanyaan semacam ini, biasanya jawaban mereka sama semua:
“embuh”, “ora ngerti”, “tilikono dewe” dan yang terakhir “takono mbah google”
Hemmm.
Bebeberapa hari setelah saya dari Kauman, sekitar pukul 9.00 kira-kira setahun lalu, akhirnya saya bisa memasuki area Ndalem Kalitan.
Ada banyak sebutan tentang tempat ini:
Ada banyak sebutan tentang tempat ini:
“Ndalem Kalitan, Griyo Alit, Griyo Kalitan, Omahe Pak Harto, Omahe Bu Tin dan Museum Kalitan,”
Sebutan-sebutan itu rasanya pas semua untuk menggambaran tentang fungsi rumah ini.
Hari itu, setelah meninggalkan KTP di Post Satpam, Mbah Rujiono, kalau saya tak salah ingat namanya, menemani saya berkeliling.
Keliling Museum Kalitan, Ada Apa Di Sana?
Suasana teduh dari hijaunya pepohonan serta rumput-rumput yang terawat memberi kesan nyaman di tempat ini. Dari halaman Ndalem Kalitan, apartemen Paragon terlihat menjulang tinggi, kontras dengan Ndalem Kalitan yang tampil dengan bentuk sederhananya berwujud rumah Joglo lama.
Area pendopo terlihat lapang dan luas. Memasuki area pendopo ini, sepatu harus dilepas. Di ujung pendopo, tepatnya di dekat pintu masuk ruang utama, gambar besar Presiden Soeharto sewaktu masih muda bersisihan dengan gambar Ibu Tin terpajang. Di dinding sebelah kirinya, lukisan foto keluarga Soeharto tergantung.
Memasuki area rumah utama, suasana terkesan agak remang meskipun Mbah Rujiono yang sudah 40 tahun-an menjadi penjaga di sana mulai menyalakan lampu. Diantara keremangan, mata saya mulai bergerilya. Mengedarkan pandang menelisik tiap sudut ruangannya.
Di sisi pinggir adalah tempat meletakkan almari barang-barang koleksi. Sementara bagian depannya, ada dinding ornamen kayu yang menurut saya seperti dekorasi manten khas Jawa Tengah dengan pusat tengahnya adalah foto mantan presiden Suharto.
Sisi kiri kanan terlihat beberapa barang koleksi Ibu Tin Soeharto terpajang di sana, mulai dari benda-benda porselen, juga beberapa miniature gamelan Jawa. Terlihat pula beberapa kenang-kenangan kunjungan dari beberapa instansi serta beragam gambar Pak Harto dengan ragam kata-kata mutiaranya.
“Bu Tin itu suka koleksi keramik, Mbak. Ini koleksi-koleksi beliau. Beberapa ada yang dikasih, beberapa ada yang beli sendiri,” cerita Mbah Ruji kemudian. Saya masih mengamat-amati. Saya tidak tau menahu tentang porselen, tapi beberapa diantaranya mirip dengan koleksi almarhumah eyang saya.
Saya melongok ke celah jendela, tampaknya di sebelah bangunan Joglo masih ada bagian tempat yang menarik.
Saya melongok ke celah jendela, tampaknya di sebelah bangunan Joglo masih ada bagian tempat yang menarik.
“Ini hanya di bagian sini yang boleh dikunjungi, Mbah?” tanya saya berharap saya boleh sepenuhnya menyambangi area Ndalem Kalitan. Mbah Ruji tersenyum.
“Hanya di sini, Mbak”
Saya mengangguk maklum. Mau bagaimana lagi? Tempat yang masih difungsikan sebagai rumah jujugan ini, tentunya memang butuh privasi.
“Anak-anak Pak Harto sering ke sini Mbah?” tanya saya iseng.
“Nanti waktu ruwah, mungkin anak-anak Pak Harto bakal ke sini, Mbak” jawabnya
Menurut Mbah Ruji, dulunya Museum Kalitan adalah rumah Ratu Alit kerabat Ibu Tin yang juga sama-sama masih keturunan keraton. Rumah ini kemudian dibeli Pak Harto, setelah Presiden Soeharto menjadi presiden.
Kini Ndalem Kalitan hanya sesekali dikunjungi putra-putrinya. Biasanya mereka datang ketika bulan “Ruwah” sekalian “nyekar” ke Astana Giri Bangun.
“Dulu sewaktu kerusuhan 98, rumah ini diserang massa tidak, Mbah?”tanya saya penasaran. Tiba-tiba ingatan saya berputar pada cerita lampau saat Solo menjadi kota api menjelang lengsernya kepemimpinan Soeharto. Era 98 saya masih kelas 2 SD, saya tidak tahu pasti bagaimana parahnya kerusuhan itu.
“Nggak, Mbak. Nopo enten sing wantun? (Apa ada yang berani?). Di sini dijaga kopasus,” katanya. Saya hanya membulatkan bibir.
Tak lebih dari setengah jam saya ada di ruang utama. Keluar dari ruang utama saya kembali ke pendopo. Mendekat ke arah gamelan-gamelan yang ditutupi kain hijau. Gamelan-gamelan Jawa yang sudah sangat jarang terpakai kata Mbah Ruji.
Pandangan saya beralih. Kali ini pada panca mutiara yang terpasang di Saka Penyangga bagian pendopo yang dipasang dalam dua huruf: Alfabet & aksara jawa. Sebuah nasihat Jawa, yang cukup dalam maknanya. Panca Mutiara, terdiri dari lima hal: Mantep (Mantap), Temen (Serius), Gelem Nglakoni (Mau prihatin), Ojo Gumunan (Jangan mudah terkagum), dan Ojo Kagetan (Jangan Mudah Kaget).
Pandangan saya beralih. Kali ini pada panca mutiara yang terpasang di Saka Penyangga bagian pendopo yang dipasang dalam dua huruf: Alfabet & aksara jawa. Sebuah nasihat Jawa, yang cukup dalam maknanya. Panca Mutiara, terdiri dari lima hal: Mantep (Mantap), Temen (Serius), Gelem Nglakoni (Mau prihatin), Ojo Gumunan (Jangan mudah terkagum), dan Ojo Kagetan (Jangan Mudah Kaget).
Nasihat itu kurang lebih maknyanya tentang bagaimana kita sebaiknya menjalani hdup. Dalam hidup, bukankah kita memang harus memiliki kemantapan dalam memilih tujuan. Lantas dalam upaya mencapai tujuan itu kita harus serius, ditunjukkan dalam upaya kita bersedia “nglakoni”. Nglakoni yang dalam bahasa Jawa lebih berarti kepada usaha dan pihatin, seperti puasa, dan menjaga hawa nafsu. Ojo gumunan, kita jangan mudah silau dengan hal-hal yang nampaknya indah yang bisa saja membuat kita lupa pada tujuan yang sebenarnya. Ojo kagetan maksudnya agar kita selalu menyiapkan diri untuk siap dengan segala kondisi. Karena terkadang hidup memang tidak sesuai dengan tujuan kita. Hidup kadang tidak pasti.
How Much and How To Get There?
Untuk ke Museum Kalitan, biaya yang dikenakan masih seikhlasnya. Lantas bagaimana menuju ke sini? Gampang saja. Kalau dari arah Kota Barat, nanti belok saja di perempatan samping Paragon. Setelah itu, perempatan pertama belok kanan, lurus pentok, belok ke kiri. Kira-kira 500 m belok kanan. Setelah itu lurus saja, nanti sebelah kanan ada Masjid Kalitan, Masjid yang juga masih miliknya Presiden Suharto. Nah, Museum Kalitan ada di samping Masjid.
So Kalau ke Solo, jangan lupa mampir kemari. Owh ya, di depan masjid ada warung yang menjual jenang sumsum. Jenangnya enak, mungkin kalau kemari bisa sekalian icip-icip makanan khas Jawa Tengah ini.
Rumah yang pernah menjadi milik Ratu Alit ini memang terkesan hanya “alit” atau kecil. Tak banyak yang saya lihat di sini selain benda koleksi Bu Tin, penghargaan, foto-foto dan piagam kepahlawanan Ibu Tin. Karena memang tidak semua tempat di Ndalem Kalitan boleh dikunjungi. Tetapi bagaimanapun, rumah ini adalah secuil potongan sejarah masa orde baru di kota Solo yang sangat tidak layak dilewatkan.
24 comments
Saya sebenarnya penasaran sama museum Kalitan ini mbak... Dulu jaman kuliah sering banget mampir di masjid kalitan atau sekadar lewat... Penasaran isinya kayak apa... Sedikit terjawab dari foto di postingan ini :D
ReplyDeleteJaman kuliah? Tahun berapa itu ms? Pasti udah lama sekali :D
DeleteOwalah.. Omah kalitan i isa dimasukin tho.. Tak kira itu bener2 rumah mbak.. Aku sering mampir solat di masjidnya situ.. Masjidnya skr udah brubah.. Aku lebih suka masjid yg tempoe doeloe..
ReplyDeleteBdw salam kenal ya mbak... 😊
Salam kenal kembali mbak. Iya museum kalitan bisa dimasuki. Sama, aku juga lebih suka yg dulu. Rasanya lebih lapang. Cuma kalau yg sekarang itu kesannya lebih terbuka
DeleteNovember lalu aku ke Solo tapi ndak ke sini e, Mbak. Menarik kayaknya ya, akhir bulan tak agendakan ke sana ah. Aaaak! Makasih, Mbak! :D
ReplyDeleteWajib itu. Coba aja ntar mampir mbak
DeleteDi Jogja ada loh museum pak harto. Lokasinya lumayan jauh dari kota hahahhaha
ReplyDeletePernah denger ini. Tapi belum pernah kesana
DeleteKayaknya menarik juga ya mbak.
ReplyDeleteTapi sisi promosinya masih kurang, jadi banyak yang nggak tau tentang museumnya.
Karena mungkin belum fokus ditujukan sebagai lokasi wisata kalau menurut saya. Makanya tempat itu belum ada promosi. Hanya siapa yg mau masuk diperbolehkan
DeleteSolo.. Mbak, aku ajakin keliling solo dong.
ReplyDeleteKita penuh pesona budaya
Ayo mbak siti. Calling me kalau ke solo :)
Deletekangen Pak harto dengan jaman esde yg menyenangkan
ReplyDeletenoted buat rencana ke Solo
makasih ulasannya mbak
musti mampir tuh kalau ke solo
DeleteTerawat ya barang-barangnya, insya Allah main ke Solo mampir ah, temani yaa aida..
ReplyDeletesiap mbak dew. calling ya :)
DeleteBaru tau ada museum kalitan mba 2x ke solo cuman tau kraton sama pasar klewer wkwkwk...
ReplyDeleteKapan-kapan mampir ya
DeleteOooo boleh dikunjungi tho.....baru tahu, kalau mampir masjidnya udah pernah
ReplyDeleteHehe, banyak ya yang baru tau
Deleteini sbnrnya srg dikash tau mama mertuaku mbak, tiap mudik k solo mama slalu ksh tau, "ini loh museum pak harto fan".. tp aku blm prnh aja dtg ksana :D... ternyata bgs yaa...
ReplyDeleteKalau ke solo lagi tengoklah coba mbak
Deletesering banget sholat di depan nya itu..hehe
ReplyDeleteSering kesana juga pk hehe. Masjidnya asik sih
DeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)