Banyuwangi - Bali dalam Sebuah Catatan
“Awas,
Pak!” Teriakku reflek. Seketika kudorong kuat-kuat bapak yang baru saja
meletakkan pinggulnya di atas tas Ragil. Bapak itu terjerembab ke depan, dan
seketika rasa bersalah menghinggapiku.
“Maaf,
Pak! Maaf! Ada kameranya di sini!” tudingku pada bagian yang baru saja diduduki
bapak itu. Bapak itu memandangku tajam. Mungkin batinnya dongkol, karena aku lebih memilih benda mati dibandingkan dirinya.
“Titip
ya, Mbak! Kameraku ada di sebelah sini,” pesan Ragil terngiang kembali. Ia
seolah tahu saja, hal semacam ini bakal terjadi.
Aku
mengerti si Bapak tadi tak sengaja. Ia baru saja memasuki bus lantas menaiki
tangga ketika si sopir mengerem karena bus melintasi jalan bergeronjal. Sebagai
akibatnya, tubuhnya terduduk tepat di atas carrier
Ragil yang tergeletak di bawah bangkuku, tepatnya di samping tangga naik bus.
Malang, ia harus kembali terjatuh, karena seseorang, ehem… saya maksudnya, mendorongnya kuat dari belakang. Fiuh… pasti si bapak kaget sekali.
Aku
baru saja terbangun lantaran bermimpi bus yang membawaku dari Solo ini menabrak
orang. Ternyata ketika terbangun suara rem yang kudengar dalam mimpi adalah rem
bus yang berkali-kali melewati jalan bergelombang. Entah harus bersyukur atau
bagaimana, yang pasti aku bersyukur karena aku terbangun tepat sesaat sebelum
si Bapak terjatuh. Perlu digaris bawahi, bersyukur terbangun tepat sesaat
sebelum si Bapak terjatuh, bukan bersyukur karena sukses berhasil mendorongnya.
Kalau tidak, kemungkinan terburuk adalah si Bapak pewe-pewe aja terduduk di atas carrier
Ragil yang isinya Nikon itu. Gawat kan, karena kamera Ragil merupakan 1
diantara 3 senjata kita selama ngetrip ini. Senjata narsis biar tetep eksis.
Beruntung
pria separuh baya itu tidak marah-marah, berteriak heboh, ataupun menangis
kesakitan . Ia cukup melihatku tajam lantas berjalan ke depan, mencari tempat
duduk. Alhamdulillah….
Lantaran
kejadian itu hilang rasa kantukku. Kuubah posisiku yang semula tidur miring
dengan menguasai separo bangku kosong di jok paling belakang, menjadi duduk
bersandar ke jendela. Kulihat ke samping, Erin masih dalam posisi tidurnya,
menguasai jok belakang separo dari yang kukuasai. Nanapun tertidur dengan
menguasai 3 bangku di depan kami. Aku terkekeh, Bus yang mulai sepi penumpang
ini membuat kami dengan leluasa tidur dengan posisi suka-suka. Yeahh.
Selang
beberapa bangku didepan Nana, Tomo, Ardi dan Ragil terlihat tak bergerak dengan
posisi duduk mereka. Nampaknya merekapun tertidur. Suasana bus terasa sepi.
Kulirik luar jendela, malam hitam kelam. Tak
sedikitpun ada tanda yang membuatku mengerti sampai dimana ini. Aku hanya
ingat, tadi sebelum aku tertidur cukup lama, bus kita sudah menyentuh tanah
Kediri.
Di luar
hanya terlihat deretan pohon, sesekali rumah, namun untuk beberapa lama
kemudian deretan pohon kembali hadir.
Sia-sia aku mencoba membaca petunjuk Jalan. Tak sedikitpun ada tulisan yang
nampak. Kolaborasi mata minus, gelap malam, dan sedikitnya bangunan berlabel,
memberitahuku untuk lebih baik tidur lagi saja. Biarkan bus berhenti ketika
nanti sudah waktunya berhenti. Karena toh, kita berhenti di pemberhentian
terakhir.
“Mbak,
bangun! Kita udah sampai!” sayup-sayup kudengar suara Tomo berusaha
membangunkanku.
Benar
saja, setelah aku kembali tidur tadi, pada akhirnya bus memang sampai juga di
pemberhentian terakhir. Sesekali kita memang perlu membiarkan hidup itu
mengalir untuk bisa menikmatinya. Tapi sesekali sajalah, karna seperti kata orang
bijak, “Hiduplah melawan arus, kamu akan bangga ketika kamu bisa melewatinya”
“150
ribu, Mas!”
“90
Pak!”
“Jauh
lho stasiun Gubeng itu!”
“Pokoknya
90!”
“110
lah!”
“90
pak!”
Hal
pertama kali yang kita lakukan ketika menginjakkan kaki di Surabaya adalah menawar
Taxi. Tomo menunjukkan bakat nawarnya (baca:ngeyelnya) dengan bersikukuh di
angka 90 ribu.
“Yaudah,
ayo!” ujar si sopir taxi akhirnya mengalah. Kita tersenyum penuh kemenangan.
Jam
menunjukkan angka sekitar pukul 00.40 ketika itu. Sempat ketar-ketir juga
karena kita janjian meeting point dengan
rombongan pelancong yang tak sengaja ditemukan Tomo lewat forum internet di
stasiun Gubeng, pukul 01.30. Mungkin
kala itu, aku menjadi yang paling merasa ketar-ketir, karena kita seharusnya
bisa tiba di Surabaya lebih awal kalau saja aku nggak telat, dan memberikan
informasi terbaru soal jam keberangkatan ke Nana dan Erin.
“Sampai!
Sampai!” Dengan gaya sok yakinnya, aku berusaha meyakinkan Ardi, Tomo dan Ragil
yang sudah pasang tampang badmood di terminal lantaran keterlambatanku tadi,
bahwa kita pasti bisa sampai tepat waktu.
Surabaya
kala malam, nampak sepi tetapi tetap hidup. Warung dan toko terlihat masih
buka. Namun hanya sedikit manusia yang memperlihatkan diri. Beragam bangunan
tinggi menjulang, memberitahu kita bahwa ini wilayah kota. Surabaya, serasa
lebih luas dibanding kota tinggal kami di Solo sana.
Butuh
sekitar setengah jam perjalanan dari Terminal Surabaya ke Stasiun Gubeng. Bersyukur
sekali, karena kami tidak terlambat. Setidaknya lebih baik, karena kami menempati
urutan kedua dari yang terakhir kali datang.
“Ahmad,”
Seorang laki-laki berbaju pink memperkenalkan dirinya. Paduan warna baju dengan
kulitnya yang jauh dari kata putih, cukup menjelaskan bagaimana orang ini.
Hanya orang-orang bermental anti mainstream yang berani melawan stereoptip Pink
itu warna “perempuan” apalagi dengan warna kulit yang jelas kontras itu. Dialah
tur leader kami untuk beberapa hari ke depan.
Di
emperan depan stasiun Gubeng, di antara keremangan lampu, beberapa orang
merebahkan badannya. Beberapa yang lain duduk bersandar, adapula yang sibuk
bercengkerama dengan orang di sampingnya. Mereka mengingatkanku pada
pemandangan yang sering terlihat di jalan, rombongan orang desa njagong
yang terpaksa harus turun karena bus tumpangan mereka kehabisan bensin.
Rombongan yang terkapar di jalan dengan muka memelas. Tapi tentu saja, mereka
bukan rombongan orang-orang desa. Pakaian yang cukup necis, serta deretan tas
Carier bermerk yang tersandar di bawah sebuah pohon menjelaskan bahwa mereka
anak-anak kekinian. Orang-orang gahul doyan plesir. Logat-logat kental
Jakartanan menghancurkan keheningan malam Stasiun Gubeng. Bersama merekalah,
kami akan memulai perjalanan.
***
Sebuah
bus mini, berwarna dominan pink menjadi tunggangan kami menginjak bumi
Banyuwangi. Kapasitas bus tepat full terisi 30 orang. Dan lagi-lagi, kami
menduduki jok paling belakang.
Deru
mesin mulai terdengar. Tak beberapa lama, buspun melaju. Tak relalu cepat,
tetapi tak terlalu lambat. Dengan kecepatan standar kami mulai meninggalkan
Surabaya. Awalnya suara-suara keramaian
nyaring terdengar. Seiring dimatikannya lampu, riuh suara di dalam bus perlahan
menjadi desau yang semakin lama semakin hilang. Tergantikan hembusan nafas
penuh kepasrahan dari tubuh-tubuh yang terlelap.
“Kalian
pesan apa?” tanyaku pada Ardi Ragil dan Tomo yang sudah lebih dulu memesan makanan.
Pagi, sekitar
jam 8.00 kami mampir di sebuah tempat makan di Banyuwangi.
“Soto,”
jawab mereka.
“Aku
rawon saja lah,”
Dalam
pikiranku, untuk mengawali hari, kenapa aku tidak mencoba sesuatu yang baru?
Aku jarang makan rawon, sepertinya menikmati makanan yang jarang kita nikmati
saat perjalanan tentunya lebih menarik.
Sejujurnya,
makan pagi adalah kesalahan buatku. Sejauh ini, aku dan Nana selalu berpegang
pada prinsip backpaker“Niatnya itu jalan-jalan, bukan nyari makan!” Yeah,
prinsip kamuflase untuk menyamarkan kalau dompet kita seringnya limited
edition. So udah jelas, breakfast seperti ini adalah sebuah pelanggaran.
Pelanggaran dompet maksudnya.
Tetapi
masalah makan, menjadi resiko yang sudah kita ketahui bakal kita hadapi sejak
awal. Kita pergi bareng rombongan. Meskipun modelnya sharecost, tetapi ini
rombongan. Dan rombongan, adalah sekumpulan orang tak dikenal, yang rata-rata
berpikiran “biasa” bahwa makan itu salah satu bagian penting. Memang
orang-orang berpikiran seperti kami yang lebih memilih jalannya daripada
makannya itu langka. #lagilagikamuflase
Apalagi,
ketiga kawan kampusku ikut berpikiran sama, memplokamirkan diri bakal
kulineran. Masih teringat dalam benak, percakapan kami saat aku usul membawa kompor
paraffin supaya kami lebih hemat pengeluaran.
“Aku
kalau gitu sekalian bawa biji-bijian wae Mbak!” komentar Ragil.
“Buat
apa?” tanyaku tak mengerti.
“Buat
ditandur disana. Nanti kita panen, Mbak! Terus habis itu dimasak! Lebih hemat
lagi tuh!”
Aku
melongo, lantas ngakak bertubi-tubi.
“Mbak,
masa dandananku gini, suruh bawa beras? Yo nanti gimana? Kita nanti kan ketemu banyak
orang baru. Yo sopo reti nanti aku pulang bisa bawa satu, Mbak. Jadi, biar
Ragil aja Mbak yang bawa berasnya…”
Nah
loh, Ardi yang kawatir jadi manusia, ganteng-ganteng bawa beras ikut komentar.
Sudahlah,
pada akhirnya resiko makan teratur menjadi kenyataan yang harus aku hadapi. Tak
ada pilihan lain selain mengubah prinsip menjadi “makan yang banyak biar kuat
menghadapi kenyataan.” Yeah, kenyataan akan rencana awal yang semula
backpakeran, berubah drastis jadi turis domestic. Okelah, sesekali naik level.
Wkwkwk.
Tetapi
penerimaan itu tak sepenuhnya membuatku bisa menikmati makan. Ujian
penerimaanku, adalah kenyataan bahwa
rawon yang kupesan tak sesuai bayangan. Kenyataan yang jauh dari
expectasi. Aku seperti bagaikan makan daging sapi yang dicelupkan kedalam
minyak jlantah, alias minyak bekas penggorengan berkali-kali, tanpa dibumbui
apapun. Saya sedikit lupa, this is Jawa Timur. Kenyataanya, lidahku mungkin tak
cocok dengan citarasa tempat ini. Huhuhu…
Sementara
itu, penampilan Soto milik kawan-kawanku begitu menggugah selera. Soto koya dilengkapi
telur. Kuicip punya Erin yang juga pesan Soto. Astaga, nyus rasanya. Jauh dari
rawonku. Aku yang biasanya soal makanan hanya berprinsip “enak dan enak banget”
untuk kali ini kamus itu tak berlaku.
Saking
aku tidak terbiasa menyisakan makanan terutama nasi, pada akhirnya nasi tetap
kuhabiskan. Tapi, you know what? Tahu
apa yang aku lakukan? Aku menghabiskannya dengan lauk kecap manis dan krupuk. Yeah,
begini jauh lebih nikmat. Pagi hari itu, 17 ribu untuk sepiring nasi lauk kecap
dan krupuk. Hahaha….
Perjalanan
berlanjut. Bus kembali mengangkut kami menuju objek wisata pertama, Taman
Nasional Baluran. Memasuki area Baluran, kami disambut hutan Jati yang
kerontang. Meranggas terbakar panas. Warna coklat yang begitu kering. Deretan
hutan kering ini mengingatkanku pada alas ketu di Wonogiri sana kala musim
kering, persis seperti ini.
Memandang
hutan yang luas membawaku pada tulisan Agus Priono, tentang Baluran di National
Geographic. Mebayangkan betapa serunya pengalamannya naik motor bersama photographer
pro, Yunaidi Joepoet, seperti yang tertulis di catatan perjalanannya di
ranselkosong.com membawaku pada rasa penasaran. Baluran, diantara rapatnya pepohonan
kering itu teka-teki terpampang luas. Dibalik kedalaman hutan ini, ada apakah
disana? Masihkah banteng-banteng Jawa bersembunyi? Kedatanganku kali ini, salah
satunya ingin melihat habitat Jawa yang katanya nyaris punah itu.
Tiba di
area sekitar savanna bekol, kuamati sekitar. Savana Bekol nyaris seperti tanah
lapang kosong. Si narsis Ardi, sibuk
beberapa kali bergaya di padang savanna bekol. Tomo dan Ragil mendadak menjelma
menjadi fotografernya. Aduh Di, padahal foto-foto di lokasi kami berdiri hanya
akan menghasilkan foto laksana di lapangan bola. Rumput kering terlalu pendek
untuk menggambarkan sabana Afrika.
“Ayo
kita jalan ke sana teman! Ke bawah tulisan savana bekol itu!” Ajakku.
“Di
sini aja, Mbak! Jauh…” Penolakan Ardi cukup beralasan hingga tak heran yang
lainpun setuju. Tulisan
“Savana Bekol nampak kecil di tengah sana. Sekilas terlihat begitu dekat,
karena mungkin pandangan kita los tak terhalang apapun. Tapi bisa dipastikan
tulisan itu bermeter-meter jauhnya dari kami.
Panas
mengerang, rumput mengering. Waktu berkata, inilah waktunya mentari berdiri
gagah di langit. Siang terlewat terik. Berdiri di sini menimbulkan sensasi suasana gurun yang kuat.
Hanya ada beberapa pohon yang tumbuh, itupun berjarak saling berjauhan antara
satu dengan yang lain. Pohon bagaikan oase di sini, dibawahnyalah kami mencari keteduhan.
Di
sudut savanna Bekol, kerangka-kerangka kepala banteng terpajang. Seolah
menegaskan bahwa banteng-banteng jawa dahulu mendiami savana Bekol. Disinilah
satu-satunya spot yang menggambarkan karakteristik khas Baluran.
Untuk
orang-orang yang bakal kupameri foto sepulang dari sini, yakinku mereka bakal
mengejekku karna jauh-jauh ke Jawa Timur hanya untuk berfoto di lapangan. Biarlah,
cuekan hasil jepretan. Yang pentingkan, bagaimana waktu bisa terkurung, dan
tiap kenangan bisa terekam. Itu kan fungsi kamera sesungguhnya J.
Naik ke
atas gardu pandang Baluran, kita akan disuguhi landskap Baluran secara lebih
jelas. Meski tak bisa menatap Baluran secara keseluruhan, setidaknya dari atas
pemandangan nampak lebih berwarna. Tak hanya coklat yang terbentang, setidaknya
pemandangan hijau pepohonan yang tidak ikut mengering terlihat dari sini. Gunung
Baluran berdiri tegap memaku bumi. Posisinya yang paling tinggi seolah ia
adalah penjaga yang sedang mengawasi area Baluran.
Aku
mengedarkan pandangan. Taman nasional seluas 25.000 ha , di sebelah mana
banteng-banteng itu bersembunyi? Tak terlihat sama sekali. Dimana pula
rombongan sapi yang digembalakan di dekat Baluran? Dimana kampung Merak itu,
tempatnya para warga yang seharusnya tak boleh mendiami area taman nasional,
namun mereka yang sudah menganggap Baluran sebagai bagian dari rumah? Hemmm,
Tulisan Agus priyono, benar-benar meracuniku.
“Heh,
foto pakai background sana, yuk!” Nana mengalihkan perhatianku. Menarikku
kembali dari keterlarutanku akan tulisan Agus Prijono.
Ah ya, kamera Ragil kubawa. Ardi, Ragil, Tomo
enggan naik kemari. Panas telah sukses menahan langkah kaki mereka untuk naik
ke atas. Untungnya, Ragil berbaik hati meminjamkan kameranya sebagai bekal kami
naik Gardu pandang. Naluriku memotret, bukan, lebih tepatnya naluriku narsis
pun bangkit. Hadap kamera dan…. Cekrik…
“Wah,
kampung Merak nggak di sini Mbak! Masih jauh di utara sana!” iseng aku tanya
pada penjual warung. Jauh ya? Pantas saja aku tak melihat rombongan sapi. Ahh,
ya, bukankah Agus prijono bilang bahwa Kampung Merak adalah Kampung minus
fasilitas umum? Kampung yang sedikit sulit untuk dijangkau? Sudah jelaskan tak
mungkin ada di dekat sini?
Sedikit
kecewa. Karena aku ingin melihat wajah-wajah orang kampung Merak. Tapi ya
sudahlah, kenyataan yang harus kujalani sekarang adalah aku ikutan memasak mie.
Hanya ada satu warung makan di area Savana Bekol. Warung yang sangat tidak siap
menjadi ramai. Hanya kedatangan kami
yang berjumlah 30 orang saja, si penjual sudah kalang kabut. Nggak ada airlah,
penjualnya kurang lah, ribet. Jadinya aku dan Nana langsung turun tangan
memasak mie untuk kami ber-enam.
“Itu,
disana ada banteng yang dikonservasi,” tunjuk si Mbak penjual warung ke sebuah
rumah kayu tak jauh dari lokasi warung.
Kontan
mataku berbinar. Banteng, itu kan yang ingin aku lihat. “Ada berapa mbak
bantengnya?” tanyaku semangat.
“Berapa
ya? 5 mungkin,” jawabnya.
Aku mengernyit.
Kenapa Cuma 5? Bukannya di Baluran masih ada sekitar 60 an banteng? Ah, ya, aku
ingat. Itu kan kalau di kedalaman hutan. Sementara ini kan yang dikonservasi di
sini.
“Eh,
itu apaan?” saat kami sedang asyik makan, Mb Qori, salah seorang teman
rombongan berteriak heboh.
“Banteng,”
jawabku tak kalah hebohnya. Sampai hampir semua orang menatapku. Akhirnya,
akhirnya, aku ketemu banteng. Sosok besar mirip kerbau itu memperlihatkan
dirinya. Bagiku, banteng jawa nampak seperti perkawinan 3 jenis hewan, kebau,
sapi dan banteng. Walaupun bos javanicus cuma 2 yang terlihat, tapi
aku bahagia.
Buncahan
kebahagiaan rasanya mengalirkan energy semangat. Menostalgiai sebuah tulisan,
meski tak sama persis seperti yang ada dalam cerita, bagaikan ketemu artis
idola buatku. Saking aku bahagia sudah ketemu banteng, aku mendadak bisa
menerima kehadiran monyet-monyet yang berkeliaran di Baluran. Monyet-monyet
yang sempat membuatku kecewa. Kecewa karena jauh-jauh di Baluran, hanya ketemu
habitat mereka.
Saat
kami kembali naik bus dan bus bergerak menuju Pantai Bama, kami sempat melihat rusa.
Huah, kenapa para rusa itu baru menampakkan diri? Rasa-rasanya aku ingin turun,
berlari bersama rusa-rusa itu, lantas bertemu kawanan rusa lain. Berlarian
bersama rombongan hewan-hewan di Baluran sana. Aku jadi teringat film “Mama
Cake”, mendadak aku jadi mengerti perasaan si Rio yang membiarkan mobil kawannya hilang
gara-gara ia lebih mementingkan berlari-larian
menikmati kedamaian bersama gerombolan kambing.
Pantai
Bama, lokasinya hanya beberapa puluh menit
dari Savana Bekol. Menuju pantai ini, lagi-lagi kami disuguhi pemandangan hutan
yang kerontang. Meskipun, tak selebat sebelumnya. Kuamati baik-baik dari
jendela kaca bus semak-semak yang tumbuh merambat tinggi hingga membentuk
kurungan yang menutupi beberapa pohon. Sekilas memang unik, bentuknya menurutku
bahkan mirip dengan rumah-rumah dalam negri dongeng. Tapi, itukah semak
mantangan, yang menyebabkan banyak satwa berpindah? Tak seorangpun tau. Tak ada
mahasiswa pertanian maupun perhutanan di sini.
Tulisan
“BAMA” menjadi penanda, kami sudah tiba di pantai Bama. Tulisan kusam berwarna
coklat, yang mungkin sudah lama ada di situ. Area pantai Bama sedang surut.
Sayang sekali, padahal menurut beberapa catatan di internet pantai ini lumayan
bagus dan asyik untuk snorkeling.
Lagi-lagi,
di sini kami bertemu dengan banyak monyet. Mereka dengan asyiknya
berlari-larian di bibir pantai mencari makanan. Aku baru tahu, hewan yang
didoktrinkan dalam buku sejarah SD sebagai nenek moyang kita itu, tak
sedikitpun takut air. Dan ternyata makanan mereka tak cuma berasal dari pohon,
tapi mereka juga doyan makanan dari laut.
Sisi
kanan Pantai Bama adalah hutan mangrove. Mangrove di Bama nampak lebat dan
berdasarkan penglihatan sekilas, tak ada jembatan tracking. Kami lebih memilih
melipir ke sisi kiri, menikmati Angin Sore pantai. Bersantai di batu-batuan,
berbagi cerita.
Kala
itu, kami tak main pasir ataupun bergelut ombak. Kami biarkan saja jiwa-jiwa
narsis kita bersatu. Menghasilkan foto carut-marut dengan berbagai gaya. DSLR Tomo
yang ditaruh ditripot lantas dimode timer dengan beberapa kali jepretan sekali
klik, sukses membuat kami menghasilkan berbagai pose acak-acakan yang sebenarnya
backgroundnya itu-itu saja. Liburan bareng, merekam kenangan bareng, memang
paling asyik kalau ada wajahnya. Background, itu back, urusan belakangan.
Entah
dimana rombongan yang lain, saat itu hanya kami dan beberapa orang bukan rombongan
kami yang ada di batu-batuan Pantai Bama.
“Gil…
Gil… fotokne aku Gil!” Seru Ardi
kepada Ragil.
Diantara
kami berenam, Ardi lah manusia paling narsis. Kamera ala Go Pro Xiaomi-nya yang
sedari tadi banyak ia jepertkan ke dirinya tak cukup membuatnya puas. Seperti
di Baluran tadi, DSLR Ragil dan Tomo ikut menjadi sasaran kenarsisannya.
Disela-sela kenarsisan kita bersama dengan mode timer, Ardi beberapa kali
meminta baik Ragil maupun Tomo memfotonya seorang diri. Tak kukira, kawanku
yang satu ini level kenarsisannya begitu akut.HAHA
Pantai
Bama menginjak sore. Gejolak waktu mengharuskan kami untuk pamit pergi.
Melangkahkan kaki kembali mengarungi Banyuwangi.
***
Perjalanan
berlanjut menuju Rumah Singgah Backpaker. Rumah singgah yang berlokasi di depan
Stasiun Karang Asem Banyuwangi menjadi tempat kami ISOMA.
“Mbak
Qori dari Jakarta juga?” tanyaku pada seorang anggota rombongan yang saat itu makan bersama kami setelah bersih-bersih diri.
“Iya…”
jawabnya sembari mengunyah bakso. “Baksonya enak, tapi dikit banget. Aku mau
cari makan di situ dulu ah,”
Wow,
kenalan baruku ini kecil-kecil doyan makan rupanya. Aku memandang nasi kardusku.
Dia sih, nggak mau beli nasi kardus aja. Lumayan enak kok. Menunya komplit dan
nasinya lumayan banyak.
Beberapa
saat kemudian Mbak Qori sudah muncul dengan nasi lauk rendang sapi.
“Kalian
kerja atau kuliah?” pertanyaan sama yang berkali-kali kudengar dari para
anggota rombongan yang lain kepada kami. Kalau ditanya begitu kami kompak
menjawab masih kuliah. Toh emang masih kuliah kan? Jawabnya pasti semester 4
pula, unyu banget. Haha.
“Kuliah,”
“Oooo,
kuliah? Pantes pesennya nasi kardus,”
Glodak!Oh,
man, apa itu barusan? Tembakan yang menohok sekali. Kami Cuma bisa ngakak.
“Mbak
Qori kerja apa di Jakarta?” tanyaku kemudian.
“Aku
ngajar,”
“Ini
semua orang Jakarta semua, ya? Mbak Qori kenal semua?” tanyaku ingin tahu.
“Sebagian,
sih. Yang lain Bandung, Bogor. Aku awalnya Cuma kenal beberapa,”
Aku
mengangguk-angguk. Aku sudah berkali-kali mendapat cerita dari beberapa orang
yang kuajak ngobrol tentang sejarah mereka. Mereka, rombongan yang tak sengaja ketemu
waktu ngetrip di Karimun Jawa. Yang kemudian masing-masing dari mereka mengajak
temannya. Jadilah mereka suatu rombongan besar yang kebanyakan sudah saling
kenal. Hanya kami ber-enam, manusia tak terduga muncul sebagai penggenap.
Biar
mereka rombongan orang kota. Tapi rupanya banyak dari mereka yang sebenarnya
kaum urban. Tak terduga malah. Ada 2 orang yang kuajak kenalan. Perempuan,
dengan logat Jakarta banget. Penampilannya juga kekinian abis. Kemayunya juga
ala arek sinetron. Pas kutanya aslinya dari mana, ternyata yo gur wong ‘ngapak’.
Disitu kadang saya merasa ingin ngakak. Tapi its okelah. Everybody punya style
masing-masing yang wajib kita hargai. Betul??
Sekitar
pukul 00.00 kami kembali melanjutkan perjalanan ke Kawah Ijen. Sepanjang
perjalanan kami terlelap. Kami baru terbangun manakala bus mengalami masalah. Bus
kami tak kuat melewati tanjakan. Nyawa belum sepenuhnya terkumpul, tapi kami
semua terpaksa harus turun. Udara dingin yang luar biasa menyerbu. Mau tak mau,
membuat nyawa lebih cepat kembali. Rasa kantuk hilang mendadak. Bus
berkali-kali terdengar mengejan mencoba menaiki tanjakan. Kepanikan terjadi.
Kami mencari posisi aman, berjaga-jaga kalau bus benar-benar tak kuat dan
akhirnya tergelincir ke bawah, setidaknya kami tidak dalam bahaya. Malang buat
Nana. Kakinya terkena lemparan batu pengganjal bus. Mantap Na… batu pengganjal
segede gajah. Tak terbayang sakitnya.
Sama
dengan bus yang kami tumpangi, kami semua juga berusaha menaiki tanjakan. Nafas
mulai terengah. Ini sih, pemanasan sebelum nanti kita benar-benar naik ke
Gunung Ijen. Langit menunjukkan pesonanya, Ratusan bintang menampakkan diri dengan
sangat jelas malam itu. Malam yang syahdu.
Bus
menunjukkan semangat kegigihannya. Tersenggal-senggal namun pasti, ia mulai
bisa naik hingga tiba di tempat yang
agak landai. Kami naik kembali. Perjalanan pun dimulai lagi. Nana melihat
kakinya yang ternyata langsung bengkak. Sebentar lagi pendakian dimulai, kasian
sekali ia harus mulai dengan kondisi seperti itu.
Bukan
Nana kalau ia merelakan Kawah Ijen demi sebuah rasa sakit. Itu anak tambleng
aja sok cuek. Yeah, udah jauh-jauh kemari, sayangkan kalau nggak naik.
Nyala-nyala
senter berebutan menerangi jalan. Di atas sana ratusan bintang yang lebih
banyak dari yang tadi, seolah bersorak menyemangati supaya kami terus berjalan
sampai puncak. Ahh, Sang kuasa sedang menunjukkan kebesaranNya malam itu,
melukis langit Ijen dengan kerlip nan indah.
Jalan
trekking kawah ijen cukup lebar, tetapi jalanan itu berselimutkan debu yang
cukup parah. Bau belerangpun sudah sejak awal menyengat hidung. Treking awal
adalah jalan yang lumayan menanjak dan lama. Harus pandai-pandai atur nafas di
sini.
Kawasan
Gunung Ijen sudah menjadi sebuah gunung wisata. Kalau anda pernah ke Bromo,
anda akan mengerti seperti apa ramainya. Jaman sekarang, orang-orang memang
sadar wisata. Efek keramaian gunung jelas berdampak pada adat pengunjungnya.
Ketika bertemu tak ada senyum, salam, sapa sewajarnya kawasan gunung yang masih
sepi. Orangnya banyak banget, masa iya semua orang lewat mau disapa. Berbagai
jenis usia manusia ada di sini, mulai anak-anak sampai orang tua lengkap
adanya. Sepertinya orang-orang menganggap gunung Ijen adalah tempat wisata
yang aman untuk keluarga.
Untuk
orang yang alergi debu, Kawah Ijen jelas
sangat tidak cocok. Struktur jalannya saja nyaris sepenuhnya berselimutkan
debu. Tomo yang sepertinya memiliki alergi debu akut, terus menyenandungkan
“uhuk-uhuk” dari sejak awal trekking. Tapi seperti halnya Nana, itu tak
mempengaruhi semangatnya untuk menggapai puncak.
Pun tak
berbeda dengan Erin, meski ini pendakian pertamanya, ia tak kehilangan optimisme.
Biarpun beberapa kali ia beristirahat untuk mengistirahatkan gejolak asam
lambungnya, ia tetap sukses mencapai puncak.
Sekitar
jam 5.00 akhirnya kami menggapainya, puncak Kawah Ijen. Subhanallah…. Hebatnya
Yang Maha Kuasa. Kawah yang berwarna hijau tosca, mengepul mengeluarkan gas
nampak elok memanjakan mata. Barisan pegunungan di sekitarnya tersusun rapi,
berpadu dengan gerombolan karpet awan, memberikan warna-warni menyusun panorama
yang hebat. Keindahan nan tertata semacam itu, mana mungkin tercipta sendiri
kalau tak ada yang membuatnya?
“Aku
nyari Ardi, Ragil dulu! Kalian tunggu di sini!” ujar Tomo lantas berjalan
turun. Ardi, Ragil semalam berjalan mendahului kami. Parahnya, semua kamera
termasuk milik Tomo ada pada mereka. Jadi, mau tak mau mereka harus ditemukan. Kalau
tidak, kami mau foto pakai apaa?? Wkwkwk, pencarian yang tidak tulus.
Seorang
laki-laki menghampiri kami. Ia meminjam mantol plastic kami untuk alas solat
subuh. Kami yang baru saja selesai memakainya, langsung mempersilahkan.
Laki-laki itu meletakkan barang bawaannya, yang langsung kusambut dengan mata
berbinar. Sebuah Keker tergeletak.
“Boleh
saya pinjam? Saya mau nyari temen saya,” pintaku spontan. Laki-laki itu
tersenyum ramah.
“Silahkan!”
ujarnya.
Kuedarkan
pandangan, kuputar-putar keker di tanganku. Semua yang jauh berubah begitu
dekat. Tapi tak sedikitpun aku melihat penampakan Ardi, Ragil maupun Tomo yang
kini ikutan ngilang. Terlalu banyak orang. Tapi tak apa, pada dasarnya aku
hanya penasaran ingin tau, bagaimana rasaanya melihat dengan keker. Maklum, biasanya
kan, aku hanya pegang keker-kekeran yang isinya gambar monyet, panda, singa,
harimau. Tau kan? Keker mainan milik anak-anak SD
Nana
ikutan pinjam, ya, ya, ya, sepupuku yang sedikit banyak sifatnya mirip denganku
itupun mengakui, kalau ia sebenarnya juga hanya penasaran. Hahahaha
Gagal
mengeker anak-anak, aku, Erin dan Nana memutuskan untuk menunggu saja.
Untungnya, tak beberapa lama berselang Tomo muncul. Ia sudah bersama Ardi dan
Ragil. Tomo tampil sebagai pejuang hari itu. Merelakan diri balik turun ke
bawah dan kembali naik ke atas. Untung perjuangannya membawa hasil.
“Kok
koe buluk banget sih, Di?” Itu komentar pertama yang aku lontarkan. Debu
membuat anak kekinian itu hitam legam secara mendadak melebihi yang lain. Belum
lagi penampakannya dengan sarung yang dililitkan di leher, serta kethu di
kepalanya. Di atas puncak Ijen, Ardi menjelma menjadi tukang rondha. Hilang
sudah kekinianmu Di. Hahaha.
Kami
segera pasang gaya masing-masing. Bergantian foto dan memfoto. Nana
mengeluarkan kertas bertuliskan “Infinite” dalam tulisan Korea. Ia dan Erin
kompak berfoto di antara tulisan itu. Heran, Infinite, apa menariknya coba?
Ragil
mencari-cari kertas kosong, nampaknya ada sesuatu yang sangat ingin ditulisnya.
Karna dia sudah berbaik hati memfoto, akupun berusaha membalasnya dengan mencoba
mencarikan kertas dan bolpoin. Untung, serombongan anak muda bersedia berbagi
kertas gambarnya. Dan, kami spontan terkekeh saat tahu apa yang ingin
dituliskan Ragil. Ia meminta Nana menuliskan ucapan “Happy Birthday” untuk seorang
gebetannya. Ealah Gil, Gil… Anak muda sekali kau.
“Emang
ulang tahunnya tanggal berapa?”
Ragil
nyengir, “23 Agustus,”
Yaelah…
Padahal saat itu masih tanggal 16 Agustus. Wkwkwkwk.
Menjelang
siang, Gas belerang makin kuat tercium. Kami pun akhirnya memutuskan untuk
turun gunung. Debu mengakibatkan jalanan licin. Harus berhati-hati menuruninya
kalau tidak mau jatuh terpuruk. Beberapa kali kami melintasi orang-orang yang
terpaksa diangkut penambang belerang dengan kereta dorongnya lantaran terkilir,
maupun terjatuh. Sebenarnya sudah ada larangan yang dipasang di dekat pos
bunder, bahwa kereta dorong tidak boleh untuk mengangkut manusia. Tapi apa ya
para penambang belerang itu bisa membiarkan saja kalau ada kejadian semacam
itu?
Kami
berpapasan dengan seorang bule yang diangkut bagaikan raja oleh 4 orang
penambang belerang menuju ke atas. Bule itu berperawakan lumayan gendut.
Pemandangan yang Nampak ironi. Saya sempat berpikir, kok si bule tega sih?
Nggak nyadar apa badannya gedhe? Rasa sok nasionalis pun sempat bergolak, ini
kan seperti penjajahan. Sehari menjelang hari kemerdekaan pula. Tapi kemudian
saya sadar. Itu kan pilihan. Si penambang itu kan laki-laki kuat, tentu mereka
sudah memperhitungkan kapasitas dirinya. Dan tentu kompensasi yang mereka dapat
telah mereka hitung sepadan tidaknya. Meskipun informasi yang saya dapat dari
penambang lain, mereka hanya dibayar antara 500-800 ribu. Tidak sepadan menurut
saya. Kalau menurut mereka sepadan, yaaa saya bisa apa?
“Komenmu tentang ijen gimana?”
Aku teringat
percakapanku dengan sepupuku beberapa hari sebelum keberangkatan kami.
“Bagus.
Fotoku jadi best of the best di London sana. Penambang belerang di Ijen,”
Mendengar
jawaban seperti itu kontan menambah semangatku untuk ke Ijen. Dan
Alhamdulillah, memang viewnya tak mengecewakan.
Meskipun
saya bukan fotografer seperti dia, tapi cerita sepupuku membuatku ingin
menostalgiai apa yang ia abadikan dalam jepretan. Penambang belerang, menarik
perhatianku pula.
Kereta-kereta
dorong yang dari tadi hilir mudik, dulunya tak ada. Para penambang dulu membawa
hasil tambang dengan memikul. Tapi kemajuan sudah terjadi di sini. Kereta
dorong besi dengan rem di kiri kanannya itu, bisa muat sampai lebih dari 100kg
sekali angkut. Jumlah yang luar biasa. Dan tentunya ini lebih meringankan beban
para penambang, yang dahulu mengangkut belerang dengan dipikul. Hasil belerang
yang didapat ini, dihargai dengan upah Rp 925 per kg. Pengakuan seorang penambang, ia bisa 2-3 kali
bolak-balik ke atas dalam sehari.
“Rumah
kita kebanyakan jauh dari sini. Tetapi masih masuk wilayah Banyuwangi juga,
Mbak. Kadang kita beristirahat di situ. Sementara anak dan istri kita ada di
rumah,” seorang penambang menunjuk ke deretan rumah yang terbuat dari anyaman
bambu. Sebuah tempat peristirahatan yang Nampak sederhana serta gelap jika
dilihat dari luar. Jempol, lah buat bapaknya. Sosok laki-laki pejuang,
penyayang keluarga.
Belerang
hasil angkutan para penambang belerang ini akan ditimbang oleh petugas yang
datang dari PT. Candi Ngrimbi. Selanjutnya, akan diangkut truk dan diolah di
wilayah Tamansari. Menurut informasi, nantinya belerang-belerang itu kebanyakan
dimanfaatkan untuk industry farmasi.
“Kemarin
naik apa, Mbak?” Tanya salah seorang penambang belerang yang lain, saat aku mencoba mendatangi tempat
penimbangan.
“Rombongan
naik bus Pak!”
“O…
Kemarin truk pabrik nabrak mobil pengunjung pas di tanjakan karena tidak kuat,
Mbak” cerita si Bapak kepadaku. Ramah sekali bapak ini. Saya belum bicara
apa-apa ia sudah memberi saya cerita. Ingatanku langsung terbang pada kejadian semalam. Saat kami terpaksa turun
bus. Mungkin kejadian itu di tempat yang sama.
“Kejadian
semacam itu sudah sering ya Pak?”
“Ya,
lumayan sering Mbak. Kan jalannya nanjak banget itu,”
Aku
mengangguk-angguk mengiyakan.
“Ini,
kenapa bapak ngangkutnya lain, bukan belerang?” kutunjuk keranjang milik si
Bapak. Puluhan botol mizone tertata rapi di sana. “Ini mau dikirim ke warung yang di atas.
Lumayan mbak dapatnya. Rp 300 per botolnya,” ujarnya. Aku tersenyum. Rasanya
tuhan sedang menyindirku dari tadi. Mungkin Ia sedang berkomunikasi, “Aida,
masih pantaskah kamu sering merasa tak bersyukur?”
Next,
dari kawah ijen kita lanjut ke air terjun si Jagir atau air terjun kembar Banyuwangi.
Bau belerang yang nyangkut di baju, langsung
hanyut semua terlarung derasnya guyuran air terjun. Segar sekali.
Suasananya sejuk. Saya tak mengira, ada hawa-hawa tawangmangu di kota
Banyuwangi.
Dari
air terjun, kita mampir ke sebuah warung makan. Hem, lagi-lagi nampaknya saya
kurang beruntung soal makanan. Awal masuk, aduh dek, udah kebayang ini warung
pasti mahal. Jadi sewaktu milih makanan, aku, Nana dan Erin milih yang paling
murah. Nasi Tempong.
Kala
itu menu pilihan kami menjadi yang paling akhir datangnya. Bahkan sampai
makanan yang lain habis pun punya kami masih belum tiba. Padahal kita pesen
bareng. Jangan-jangan karena punya kita yang paling murah, sementara yang lain
menu high class semua??? Glek… gini nih, kalau mental sok backpacker disuruh
jadi turis. Ngitung mulu.
“Ini,
yang pesan nasi tempong, mau ikan asin atau ayam?” tiba-tiba pelayan restoran
menghampiri kami.
Aku,
Nana, dan Erin saling pandang. Nasi tempong? Bukannya itu tepong ayam ya?
Kenapa mesti tanya mau ikan asin atau ayam?
“Ayam,”
jawabku. Nana, Erin setuju. Pikiran kami sama saat itu, tempong itu sama dengan
tepong.
Sesudah
pertanyaan itu, kami masih menunggu lama lagi. Kulirik meja Tomo, Ardi, dan
Ragil. Mereka Nampak blingsatan. Mereka sama seperti kami, menunggu makanan
tiba. Yang aneh, kenapa mereka tidak ditanyai seperti kami? Padahal mereka
pesan menu yang sama juga.
Ketika
makanan datang, Aku mengernyit. Penampilan makanan sih oke. Penataan sambal dan
lalapan terong tertata rapi. Tapi, kok ada yang aneh. Aneh menurut saya, karena
di dalam piring ada 2 jenis lauk yakni ikan asin dan paha ayam. Mana tepongnya?
Sudahlah,
aku mencoba cuek. Makan saja apa adanya. Pikirku saat itu. Sayangnya, lagi-lagi
aku kecewa. Aku sempat meremehkan Tomo, saat ia bilang lidahnya tak cocok
dengan masakan Jawa Timuran.
“Backpaker
kok pilih-pilih makanan!” gayaku menyindirnya sesaat sebelum aku merasakan
Rawon yang menjadi makanan pertamaku di Jawa Timur.
Nyesel,
karena sepertinya aku kualat. Lidahkupun ternyata menolak cita rasa Jawa timur.
Nasi-nasi, maaf aku tak sanggup menghabiskanmu.
Ardi,
Ragil, dan Tomo bangkit dari tempat duduknya. Membayar ke kasir dengan muka
merengut lantas berjalan ke luar. Usut punya usut, mereka emosi lantaran
pesanan mereka tak kunjung datang.
“Kok
aneh ya? Masak cuma murah banget? Cuma 35.000 bertiga. Tadi ditanya nasi
tempong biasa? Terus aku jawab iya. Tapi kok aneh, kenapa kita tadi ditanya
ayam atau ikan asin? Terus dijawab ayam tapi kok ada ikan asinnya?” Nana
bertanya sembari menghitung uang kembalian.
“Nasi
tempong itu sebenernya apa sih? Atau kita balik lagi saja terus tanya?” akupun
ikut merasa aneh.
“Iya
kita tanya lagi sajalah,” Erin mendukung.
Kitapun
kembali. Rombongan kami sudah tak ada yang di dalam rumah makan. Tinggal kami
bertiga.
“Owh,
tadi ada ayamnya? Ayam kampung?” petugas kasir menanyai kami dengan muka judes.
Matanya tak sedikitpun memandang kami.
“Kita nggak
tahu mbak ayam kampung atau bukan,”
jawabku merasa aneh dengan pertanyaannya. Tidak professional sekali,
harusnya apa yang kita pesan ada dalam pricelistnya kan?
“Ayam
kampung tambah 75.000” ujarnya sinis.
Kami
bertiga ternganga. Shock mendengar jawaban itu.
“Nggak
kok, bukan ayam kampung! Ayamnya aja nggak alot!” ujar Nana nggak terima. Nggak
terima dong kalau kami sampai harus bayar 75.000 untuk paha ayam yang Cuma
kecil.
“Owh,
berarti ayam potong!”
“Ya
kita nggak tahu Mbak, ayam apa!”
“Kalau
bukan ayam kampung ya berarti ayam potong. Kalau ayam potong bertiga tambah 51
ribu! Masing-masing berarti 17 ribu!” jawabnya dengan muka yang semakin bikin
emosi.
Kami
bertiga mlongo lagi. What??? 17 ribu? Meskipun sudah lebih murah, jelaslah kami
masih tak terima.
“Yang
bener, Mbak? Tadi itu ayamnya Cuma paha kecil loh, Mbak? Masak paha kecil 17 ribu?”
Seorang pria yang sepertinya juga
pelayan disitu muncul. Berbeda dengan mbaknya kasir. Pria ini jauh lebih ramah.
Mungkin ia merasa perlu mengimbangi kesadisan sang kasir, makanya ia tak
henti-hentinya mengumbar senyum yang meski terkesan dibuat-buat, tapi
setidaknya itu lebih baik.
“Iya
Mbak, harga ayam potong segitu… Itu ada di daftar harga!” ujar pelayan pria
lantas diakhiri senyum lagi.
“Mana?”
tanyaku, lantas aku diajaknya melihat daftar menu yang tertempel di tembok.
“Tapi
ayam kita tadi itu benar-benar cuma paha kecil loh, mas! Nggak segedhe itu!”
protesku. Jelas-jelas gambar ayam yang terpampang di situ potongan ayam yang
cukup besar, beda sekali dengan yang kami makan.
“Tapi
memang itu ayam potong yang itu mbak,” ujarnya dan lagi-lagi tersenyum.
Oh,
God! Pengeluaran tak terduga kami bertmbah! Aku benar-benar bakalan puasa habis
trip ini! Kami menghela nafas panjang. Sudahlah, kami akhirnya mengalah.
Sebal
sih, tapi keluar restoran kami bertiga terbahak-bahak. Menertawakan kekonyolan.
Ada-ada saja kejadian macam ini. Maunya ngirit, malah jadinya ngorot.
“Ealah,
17 ribu… 17 ribu… dari kemarin kayaknya juga 17 ribu yak? Rawon kita kemarin 17
ribu juga kan?” tanya Nana. Aku ngakak lagi.
“Owww,
ini mungkin karena kita perginya menjelang 17 Agustus, jadinya 17 ribu
terus,” Nana sontak membuatku makin
terkekeh.
“Udahlah,
besuk makan pupu pitik gone dhe Ratni wae! 4.000 tog!” Dhe Ratni adalah nama
warung makan milik ibunya Nana. Dan Ia makin membuatku tertawa menjadi-jadi.
Memasuki
area bus kami masih ngekek. Belum berhenti tawa kami, Tomo sudah menyerbu
dengan ceritanya. “Aku emosi, padahal kita pesan lebih dulu dari kalian! Eh,
masa makanan kita nggak dateng-dateng!”
“Karna
itu kalian keluar tadi?” Nana memastikan. Mereka bertiga mengangguk.
“Heh,
kalian tahu, kalian itu makhluk beruntung! Kalian beruntung karena kalian batal
makan nasi tempong!” ujarku. Ardi, Ragil dan Tomo mengernyit dengan
pernyataanku.
“Tau
gitu, tadi aku juga ikut kalian keluar! Udah mahal, lama pula!” sesal Nana. Aku
terkekeh lagi melihat ekspresinya.
“Kalian
tahu apa itu nasi tempong?” tanyaku.
“Nggak!
Emang apa?”
“Kukira
itu nasi tepong ayam! Ternyata tepong dan tempong itu beda!” sungutku. Tapi
kemudian aku ngakak lagi.
Tomo
langsung browsing tentang nasi tempong. Dan, yang ditemukannya membuatku
sedikit menyesal. Sebagai anak IT kenapa tadi aku tidak memanfaatkan teknologi
dulu untuk mencari tahu.
Menurut
hasil browsingan Tomo, nasi tempong adalah nasi dengan lauk ikan asin.
Dilengkapi lalapan dan sambal yang luar biasa pedas, sampai rasanya ingin menempong atau menampar!
Wealah,
ternyata, tempong itu artinya tampar, dan bukan tepong! Hemmm,,,
“Padahal
sambalnya biasa. Sama sekali nggak pedas. Gini sih rasanya ingin menempong
penjualnya! Judes gitu!” rutukku.
Yeah,
meski sebal. Tapi entah kenapa aku justru puas. Puas karena ada hal yang
membuatku ngakak karena merasa dibodohi. Sudahlah…
Kami
balik lagi ke Rumah Singgah Backpaker. Rumah singgah ini gratis untuk umum.
Semacam hostel lah kalau di luar negri. Enaknya Rumah singgah di sini, antara
laki-laki dan perempuan dipisah. Tapi ya tetap saja, aku, Nana dan Erin sempat
tak bisa membayangkan jika harus berdesak-desakan tidur seperti itu.
Kami
bertiga berbincang sok akrab dengan penunggu Rumah singgah. Ngobrol sana-sini,
menanggapi ceritanya tentang keluarganya dan tentang macam-macam. Dan ternyata,
jadi pendengar itu membawa manfaat yang mengasyikkan. Ujung-ujungnya, kami
bertiga diberi tempat special. Sebuah kamar khusus dengan kasur busa dan kamar
mandi pribadi yang kalau biasanya di charge harga Rp. 60.000, tapi kali itu
kami diperbolehkan memakainya free. Aseeek.
“Penerbangan 1945 lampion,” sebuah baliho terpampang di
salah satu sudut wisata boom. Pantai Boom ramai sekali malam itu. Kedatangan
kami bertepatan dengan malam menjelang tanggal 17 Agustus 1945. Dan jumlah 1945 itu merupakan symbol
peringatan kemerdekaan.
Bayanganku
pasti langit bakalan indah dihias ribuan lampion, sayang ingin itu gagal.
Penerbangan lampion dibatalkan lantaran cuaca yang tidak mendukung. Akhirnya,
kami berenam hanya duduk dipinggiran bibir pantai. Memandang selat bali yang
berkerlip,mendengar debur ombak yang keras menyapa daratan.
Tak
banyak waktu yang kami habiskan di pantai boom. Sekitar 1 jam kemudian kami
sudah kembali.
***
Matahari
menyibak pagi. 17 Agustus 2015, Indonesia berusia 70 tahun. Hari ini, adalah
hari terakhir kita ngetrip. Tujuan terakhir kita adalah Pulau Menjangan.
Snorkling di sana. Pulau ini, awalnya tidak terkira masuk list perjalanan. Tapi
ya, justru yang sempat tak terkira itu yang asyik.
“Cutiku
nggak cukup Da, kalau kita mau sekalian ke Baluran!” Ujar Tomo di BBM sebelum
semua perjalanan ini terjadi. “Kamu mau ke Baluran atau Kawah Ijen?”
“Dua-duanya
lah,” jawabku yang disambutnya dengan ekspresi ngekek.
“Nggak
sekalian ke menjangan?” celetuknya menyindir. Saat itu, ke Menjangan
benar-benar mustahil. Dan ucapan Tomo hanyalah ucapan ngasal yang benar-benar nampak
tak mungkin pada awalnya.
Tapi
keajaiban terjadi, Tomo menemukan rombongan jalan-jalan yang bersedia share
cost beberapa hari menjelang rencana tanggal main kami. Dan ajaibnya lagi,
rombongan itu kurang 5 orang sementara kami ber 6. Eh, beberapa hari kemudian dapat
kabar bahwa ada satu dari rombongan yang batal, so pas banget kan?
“Para
perempuan naik dulu aja!” Mas Ahmad memberi komando.
Kapal
berbentuk seperti banana boot dengan penyeimbang dari kayu di sisi kiri
kanannya, mengantarkan kami menyebrang dari Bangsring ke sebuah dermaga di
tengah laut. Kapal yang hanya mampu mengangkut sekitar 6 orang ini, disebut
Nana dengan “Banana atos” saking atosnya
kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sekat-sekat untuk kami
duduk.
Dermaga
bergoyang-goyang saat kami turun dari kapal. Kami sempat limbung, tapi secepatnya
kami bisa menyesuaikan diri. Dari dermaga kayu inilah, kami selanjutnya dibawa
menyebrang untuk snorkeling di Pulau Menjangan.
Dari
Dermaga, tepian Pantai Bangsring tak terlalu jauh. Beberapa orang muncul,
menceburkan diri ke laut pantai Bangsring. Apa yang mereka lakukan membuatku
menarik nafas sementara. Mereka mengibarkan merah putih di atas laut. Membentuk
formasi, kemudian melakukan hormat bendera. Sesudahnya mereka berenang menuju
Dermaga. Akh, betapa asyiknya jika bisa menyatu dengan air seperti itu. Menyatu
dengan zat penyusun terbanyak tubuh manusia. Aku benar-benar iri melihatnya.
Apa daya, kemampuan renangku belum juga meningkat semenjak snorklingku di
Karimun Jawa.
Perahu
kapal mengangkut sekitar 10 orang menuju laut Pulau Menjangan. Kami di atas
kapal bersama bunda Uphie. Seorang Ibu-ibu kekinian, yang ternyata sudah
menjelajahi berbagai tempat. Asyiknya lagi, ia selalu berjalan-jalan bersama
suaminya. Super romantic.
“Anak
kita dua, tapi kalau diajakin main gini, nggak mau. Mereka lebih milih di
rumah,” ceritanya. Coba anaknya itu aku, jelas semrinthil lah….
Tapi
mungkin itu cara si anak berbakti. Membiarkan orang tuanya menikmati hari,
berdua saja. Mengenang masa lalu, berbulan madu. Mungkin…
“Kalau
jalan gini, suamiku itu sering tidur mulu. Dari kemarin aja ya, ia tidur terus
di bus!” curhatnya. Ia menunjukkan kesal sesaat, tapi pandangannya
memperlihatkan ia tetap bahagia. Ya, mungkin sebagai perempuan ia berharap
suaminya melakukan lebih banyak hal-hal romatis daripada tidur. Tapi sesebal
apapun ia pada ketidakmengertian suaminya, sebenarnya itu bukanlah hal penting.
Asal suaminya tetap disampingnya, bukankah itu lebih penting? Terkadang cinta
mudah saja menyederahanakan bahagia lewat satu kata, bersama.
“Saya
pernah baca, bahwa traveling itu mengawetkan sebuah hubungan lho, Bu,”
celetukku. Bunda Uphie hanya terkekeh. Imajiku langsung terbang pada buku yang
pernah kubaca tentang sepasang suami istri asal Indonesia yang berkeliling
dunia dengan Moge. Asyiknya.
Bapak
pengoperasi perahu bergabung bersama kami. Ia pun lantas berbagi cerita tentang
Pulau Tabuhan.
“Itu
pulaunya kecil,tak berpenghuni. Masih sepi. Seringnya wisatawan hanya tahu
tentang Pulau Menjangan,” cerita si Bapak sembari menunjuk ke sebuah daratan
yang Nampak kecil di antara laut Banyuwangi dan Pulau Menjangan. Jelas, kami
langsung berminat sepulang dari Menjangan bakalan mampir kesana.
“Ini
nanti nggak ke Pulau Menjangan. Kalau ke Pulau Menjangannya, nanti bisa
dimarahi. Itu sudah masuk kawasan wisata. Mahal!” Penjelasan Si Bapak
memupuskan harapanku.
Sebenarnya
dari awal aku sudah tahu, bahwa perjalanan kami ke Pulau Menjangan untuk snorkeling. Tapi aku masih berharap, kakiku
menjejak Pulau Menjangan. Ingin mengeksplore ke sana. Bertemu para menjangan,
yang menyebabkan pulau ini dinamai nama yang sama dengan mayoritas penghuninya.
Tapi kata mahal yang kata beliau mencapai 200 ratus ribu, menyurutkan langkah.
Air
berkilau biru. Mesin dipelankan. Kapal bergoyang-goyang dibelai mesra ombak
yang mengalun pelan. Pengemudi kapal mengedarkan pandangan ke sekeliling,
mencari spot yang masih kosong untuk snorkeling. Beberapa kapal rombongan lain
nampak melakukan hal yang sama.
Rombongan
kapal kami yang lebih banyak lelakinya, berteriak riuh manakala sebuah kapal
berpenumpang bule lewat. Deretan penumpang bule yang memunggungi kapal kami
sukses membawa kehebohan. Punggung-Punggung putih serupa manekin itu hanya
berhiaskan seutas tali dari baju renang yang mereka pakai. Pemandangan yang
bercerita, Pulau Menjangan itu adalah bagian dari Bali.
Kami
snorkeling di 3 tempat berbeda. Awalnya di dekat menjangan, tapi kemudian
berpindah agak jauh, dan kemudian di dekat pulau Tabuhan.
“Byurrrr,”
satu persatu para penumpang perahu menceburkan tubuhnya. Sementara aku dengan
perlahan, berselimutkan rasa takut mulai menuruni tangga kayu kapal
pelan-pelan. Biarpun aku sudah berlatih renang 3 kali sebelum keberangkatan
ini, masih saja rasa takut itu melekat kuat.
“Aku kira
Aida yang paling parah,” komentar Tomo meledek. Aku hanya bisa melengos. Aku
dan Erin menjadi manusia payah hari itu. Kami berdua menjadi satu-satunya
anggota kapal yang tak bisa berenang. Awalnya, Erin yang paling payah. Ia
berteriak-teriak di awal.
“Mbak,
kakimu kayak jalan biasa!” Ragil mencoba memberi instruksi. Tapi aku tak
kunjung bisa. Kenapa susah sekali?
Awalnya,
kawan-kawanku secara bergantian kujadikan pegangan mengarungi lautan. Tapi
begitulah, mereka akhirnya meninggalkanku lantas kemudian berenang menjauh
menikmati entah apa di sana. Berfoto-foto tanpaku pula #Sakit
“Kan
udah pakai pelampung! Nggak bakal tenggelam!”
Komentar
menyebalkan. Dari awal aku tahu pelampung itu akan menjagaku. Tapi serius,
goyangan ombak meliuk-liukkan rasa takut yang tak kunjung bisa kuhilangkan.
“Ayo,
sama aku yok! Kita kesana,” bunda Uphi datang sebagai penolong. Ia membawaku
berenang. Tanganku berpegangan pada baju pelampungnya.
“Rileks!
Lihat ke bawah! Bagus kan?” ujar bunda Uphi.
Rabb…
keindahan ciptaanMu secantik itu, kenapa pula rasa takut ini harus hadir? Terus
kutanyakan pertanyaan itu, tak kutemukan jawabannya. Ketakutan tak beralasan!
Terkadang, aku hanya merasakan pelampung itu tak sanggup mengangkat tubuhku,
meskipun itu tak mungkin.
“Kamu
gendut, sih! Makanya pelampungnya nggak kuat!” itu komentar Nana saat aku
cerita kenapa aku mesti takut.
Hmmm,
Nana, ia kira aku sebodoh itu untuk percaya apa? Sori, nggak lah ya!
Laut
bergejolak sedikit kencang. Kurasakan tubuh bunda Uphie dari tadi stagnan tak
bergerak maju seolah ombak menahannya. Kontan aku panic. Kepanikan yang aku
tahu sangat dilarang saat di air. Bunda Uphie akhirnya memanggil suaminya. Tapi
suaminya masih menjadi pegangan Erin. Akhirnya bapak pengemudi perahu yang
datang.
Kemudian
dari bunda Uphi aku pindah berpegangan pada pelampung bapak pengemudi perahu
yang ikut menceburkan diri ke laut. Awalnya aku berharap di bawa menuju ke arah
teman-temanku supaya bisa ikut jeprat-jepret. Tapi aku malah dibawa menjauh.
Tapi tak apa.
Olehnya,
aku dibawa melihat laut yang jauh lebih indah dari tadi. Semakin menjauh,
ternyata semakin best sekali viewnya. Terumbu karang jauh lebih berwarna-warni.
Anemon-anemon laut, bergerak melambai-lambai dikelilingi beragam ikan, yang
setahuku itu sejenis angelfish. Berukuran mungkin satu telapak tangan, berwarna
kuning, bergaris coklat di dekat insang. Dengan gesit mereka berkejaran,
bermain-main petak umpet diantara celah liukan anemon.
“Lihat
itu!” Si Bapak perahu menudingkan tangannya ke arah anemon berbentuk seperti
sulur berwarna coklat hitam. Anemon itu juga bergerak. Yang menarik, di
bawahnya terlihat ikan seperti ikan sapu-sapu. Tetapi ikan itu tak melulu
menyapu permukaan. Sesekali ia menenggelamkan diri diantara gelap celah anemon.
Tapi sesekali ia malu-malu mengintip.
“Liat
lagi ya, tapi tunggu beberapa saat, dan jangan bergerak!” perintah si Bapak.
Aku
menurut. Sekitar 2 menit aku mendiamkan posisi, ikan itu mulai memperlihatkan
wujudnya seutuhnya. Ia menari mengelilingi anemone serupa sulur itu. Dan saat
aku menggerakkan kaki kembali, ia pun dengan cepat masuk kembali ke dalam
celah.
Rombongan
ikan yang mungkin sejenis jackfish sepengetahuanku. Segerombolan berwarna biru,
dan sebagian berwarna kuning,
ikut menyemarakkan warna-warni pemandangan yang kulihat. Cantiknya…Subhanallah…
“Ayo,
ke sana lagi!” Si bapak berenang lagi. Untuk kesekian kalinya kubenamkan kepalaku
ke bawah laut. Mataku tak henti-hentinya dimanjakan pemandangan yang dulu hanya
bisa kulihat di iklan RCTI. Sewaktu kecil, aku senantiasa berharap bisa melihat
laut. Biarpun sampai detik ini aku belum berhasil menyelam, setidaknya tuhan
sudah membawaku sedekat ini dengan laut.
Aku di
bawa berdiri mengapung di atas koral hitam. Koral-koral itu cukup luas.
Bernuansa gelap, jauh terletak lebih ke dalam. Hanya beberapa ikan terlihat.
Suasana menakutkan jadi terasa. Kami maju lagi, ikan-ikan Nampak berkilau
dengan warna-warna terang di tubuhnya.
Kami
maju lagi. Kali ini, sekumpulan jackfish banyak sekali terlihat. Jumlahnya
lebih banyak dari yang tadi. Tak bisa kubayangkan, kalau tadi aku membawa roti,
mungkin aku sudah diserbunya. Seekor nemo dan mungkin belut laut juga muncul
berkelabat. Subhanallah, Elok nian laut ini. Ini bahkan lebih beragam dan
berwarna-warni dari yang kutemui di Karimun Jawa. Sayang, aku tak membawa
kamera untuk mengabadikannya.
“Udah,
ya Mbak! Kita sudah jauh ini. Tadi harusnya perahu kita ngikutin kita kemari.
Tapi mungkin karena teman-teman Mbak, masih di sana, jadi teman saya memilih menunggu
di sana,” cerita si Bapak. Tadi memang ia sempat berteriak kepada temannya yang
berdiri di atas kapal menggunakan bahasa Bali. Tak kumengerti maksudnya, tapi
caranya ngomong yang disertai gerakan tangan menuding arah laut, memahamkanku
bahwa ia menyuruh kapal mengikuti kami berenang.
“Siap
Pak! Terima kasih sudah membawa saya sejauh ini. Indah sekali, Pak!” ujarku.
Si
Bapak hanya terkekeh. “Sama-sama, Mbak! Kita balik ke sana, sambil Mbaknya
melihat ke bawah lagi!” Aku semangat menganggukkan kepala.
Erin
rupanya sudah bisa berenang saat snorkeling kita pada spot yang ke dua. Ya, dia
kan pada dasarnya lebih dulu sering masuk kolam renang daripada aku.
“Erin
wes iso hlo!” ejek Tomo sekali lagi. Kulirik Erin. Dia sudah sangat santai
berlenggang di atas air.
“Mbak, kok
rupamu elek banget, tho!” komentar Ardi melihat wajahku yang mungkin terlihat
tak karuan dengan kacamata snorkeling yang mempengaruhi bentuk jilbabku.
Menyebalkan, ia membalas komentarku tentang “kebulukannya” pas di Ijen rupanya.
“Payah,
Mbak! Udah jauh-jauh sampai sini nggak bisa renang!” komentar Ardi lagi.
“Ho’oh!
Pie to we ki, seprono seprene nggak iso renang! Kayak gitu katanya mau ke
Lombok!” Nana menambahi.
“Nanti
kalau ke Lombok, Mbak Aida nggak usah diajak aja!” ujar Ardi dengan santainya.
Yang lain hanya mengiyakan sambil terkekeh. Kam to the pret sekali itu bocah!
Lihat saja, habis ini pokoknya aku akan belajar berenang dengan
sungguh-sungguh!
Seperti
kata bapaknya sewaktu di atas kapal tadi, Pulau tabuhan sepi pengunjung. Hanya
ada rombongan kami. Tak terlalu banyak yang kami lakukan di sini. Hanya
berlari-larian di atas pasir putih sejenak. Berfoto-foto membawa bendera khas
17 Agustus. Mengamati laut dan gunung yang entah apa namanya, lantas pulang.
Akupun tak mengexplore pulau. Hanya sempat melirik, mengintip diantara celah
semak yang memenuhi isi tengah pulau Tabuhan. Sebuah bekas cor-coran semen
berdiri di sana. Mungkin bekas suatu
bangunan. Penasaran juga sebenarnya, hanya saja tak kudatangi. Semak pada
bagian tengah sebetulnya tak terlalu lebat. Hanya saja banyak sekali sampah,
hingga membuatku malas untuk menjejakinya. Berarti mungkin sebenarnya sudah
banyak wisatawan yang datang kemari sebelum kami. Tak sesepi yang bapak perahu
ceritakan.
Kami
biarkan saja matahari memanggang tubuh kami di atas kapal. Kami terlalu lelah
untuk peduli. “Wani ireng, lek! Yang penting seneng!” mungkin itu kata-kata
yang bisa mewakili kami. Masing-masing dari kami terkapar kelelahan. Sepanjang
perjalanan kembali menuju dermaga, kami menengadahkan diri berbaring di atas
bagian kapal yang tak beratap. Tidur menantang mentari.
Haaa,,,
selesai sudah. Perjalanan selalu memiliki akhir di ujungnya. Saya memandang ke
bendera tercabik milik kapal kami yang berkibar. Bersyukur, karena sekali lagi
aku menikmati event 17 Agustus di luar rumah,luar kos, luar kantor dan luar
kampus. Tahun lalu, aku menikmatinya bersama kawan-kawan sekelas, upacara di pesisir pantai Klayar.
Tahun depan kemana ya? Hem,,, semoga diizinkanNya menikmati bumiNya yang lebih
jauh lagi, lebih indah lagi, dan lebih menarik lagi. Syukur-syukur kalau udah
sampai ke luar negri, mengikuti pengibaran bendera merah putih di negri orang.
Merasakan atsmosfer rindu tanah air, dan cinta negri yang luar biasa. Hem,
sepertinya menarik. Amin.
“Perjalanan
itu seharusnya bisa membawa kita lebih dekat dengan sang pencipta! Karena kita
sudah diberi kesempatan melihat lebih banyak!” Asma Nadia –Jilbab Traveller-
“Seorang
pelancong tanpa pengamatan adalah burung tanpa sayap” –Moslih Edin-
“Makin
sering traveling kita akan semakin terasah untuk mengobservasi, mencari solusi,
bersosialisasi, menganalisis” Trinity –The Naked Traveler-
Ya
semoga, Yang di atas mengijinkanku keliling nusantara, sampai keliling dunia.
Amin…
Akhir
kata, semoga bermakna!
Info n tips seputar perjalanan:
Bus dari Solo ke Surabaya itu sekitar 7 jam.
Pengalaman yang saya ambil kemarin, jangan mudah percaya sama petugas terminal
maupun kernet bus yang mengatakan hanya 5 jam!
Bus ke Surabaya yang kami tumpangi ada 2. Di
awal naik Mira, dan pulangnya naik Eka. Mira bayarnya cukup murah, Rp. 45.000
sementara Eka Rp. 85.000. Tempat duduk Bus Mira model 2-3 seat, sedangkan Eka
2-2 seat. Di bus Eka, kita serasa kelas eksekutif, adem banget, lebih terang,
dapat makan pula! Ya, ada harga ada rupa lah…
Kalau mau murah ya nginep di hostelnya
Banyuwangi, Rumah Singgah Backpaker. Gratis. Tapi ya, tau diri lah
Kalau ke kawah Ijen jangan lupa bawa masker
dobel. Terus untuk mengurangi bau belerang yang kuat jangan lupa basahi masker
dengan air.
Sewaktu turun gunung Ijen ataupun gunung lain,
sebetulnya dengan kita berlari akan lebih mudah kalau tau caranya. Ini tips
dari seorang kenalan mapala yang saya temui sewaktu di Merbabu. Yang pertama
jangan takut dulu! Usahakan posisi telapak kaki miring saat melangkah. Dengan
begitu, kalaupun nanti kita menggelondor, tubuh kita bisa tertahan kaki. Kalau
lurus beresiko kita mudah terjungkal. Usahakan kaki depan menemukan pijakan
lebih dulu.
Tips yang pernah saya dapat dari teman yang lain
adalah ketika naik. Jangan berjalan terlalu cepat di awal. Tenaga kita akan
mudah habis kalau begitu. Santai dulu, biarkan tubuh menyesuaikan diri dengan
keadaan. Jaga irama nafas, 3 langkah kaki 1 tarikan nafas, atur seperti itu
ketika nafas terengah-engah karena jalan menanjak.
Browsing dulu lah kalau mau makan yang aneh-aneh
atau ingin mengetahui banyak tempat di Banyuwangi. Tapi, kalau kamu orang yang
suka surprise,tentunya biarkan saja gadgetmu mati.
Kalau ke baluran pas summer, bawa kacamata hitam. Baluran panas euy. Kalau perlu bawa saja payung, sekalian yang warna-warni buat foto.
Buat kamu penyuka tantangan, ke Baluran lebih
asyik kalau kita jalan kaki dari lokasi pembelian tiket ke savanna bekol. Insya
Allah biarpun jauhhhh tapi aman kok! Saya hanya melihat beberapa bule saja yang
bersedia melakukan ini. Kalau kita berada di dalam bus, rasanya seperti nonton
di taman safari.
Jangan memberi makan kera-kera di Baluran. Para
kera berekor panjang itu benar-benar liar dan setia kawan. Pengalaman kemarin,
ada seorang teman rombongan yang memberi beberapa ekor kera makanan. Eh, si
kera memanggil kawan-kawannya. Langsung, dari berabagai sudut, puluhan kera
datang berlari-larian.
Tiket masuk Baluran per orang 10.000. 5.000 untuk Habitat liar. Ke Kawah Ijen per
orang 7.500. Ke air terjun si Jagir kami kemarin gratis. Tiket Kapal termasuk
paketan snorkeling dari Bangsring ke Menjangan, 200.000.
1 comments
Asyik banget dan seru ya kelihatnnya :D
ReplyDeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)